Jumat, 01 Juli 2011

Politik Hukum perbandingan Perda No. 16 Tahun 2009 dan Perda No. 3 tahun 2005 tentang RTRW Bali

PERBANDINGAN  PERDA NO. 16 TAHUN 2009 TENTANG RTRW PROVINSI BALI TERHADAP PERDA NO. 3 TAHUN 2005

Tiga kali sudah Propinsi Bali memberlakukan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Bali. Pertama Perda No. 6 Tahun 1989 (berlaku hampir 8 tahun), kedua Perda No. 4 Tahun 1996 (berlaku 8 tahun 6 bulan), terakhir Perda No. 3 Tahun 2005 (diundangkan 30 Desember 2005). Kenyataannya norma Perda (das sollen) tidak mampu membatasi terjadinya pelanggaran tata ruang wilayah Propinsi Bali di lapangan (das sein). Terjadi diskrapansi antara teks pasal-pasal Perda RTRWP dengan kejadian nyata/sesungguhnya di lapangan.
Setelah pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR), maka pemerintah daerah provinsi diminta untuk membuat peraturan daerah yang mengacu pada UU PR tersebut dalam jangka waktu dua tahun.Dari segi substansi atau materi muatan Perda No. 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali yang terdiri atas 153 pasal ini sebagai hasil penyesuaian Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2005 terhadap UU RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan secara prinsip adalah berupa penyesuaian sistematika dan nomenklatur yang mengacu pada UU 26 Tahun 2007 itu dan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, serta menampung kondisi khusus daerah. Berikut ini perbedaan kewenangan dan substansi dari perda No. 3 Tahun 2005 dan Perda No. 16 Tahun 2009 :

No.
Perda Nomor 3 Tahun 2005
Perda No. 16 Tahun 2009
1
Masa berlaku 6 tahun
Masa berlaku 20 tahun
2
Tidak mengatur arah zonasi provinsi terhadap struktur dan pola ruang.
Mengatur arah zonasi provinsi terhadap struktur dan pola ruang.
3
Dalam melaksanakan tugas penataan ruang, Pemprov tidak memiliki kewenangan lebih luas dalam penetapan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis.
Dalam melaksanakan tugas penataan ruang, Pemprov memiliki kewenangan lebih luas dalam penetapan, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis.
4
Gubernur hanya melakukan koordinasi dengan Bupati/Walikota.
Gubernur berwenang melakukan pengendalian pemanfaatan ruang meliputi arahan peraturan zonasi, peraturan perizinan, insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
5
Tidak ada rincian pengaturan hak dan kewajiban, penyelesaian sengketa dan peranserta masyarakat.
Pengaturan hak dan kewajiban, penyelesaian sengketa dan peranserta masyarakat diatur secara lebih rinci.

Berdasarkan kajian normatif bahwa dalam Perda No. 3/2005 terdapat norma kosong, pada Psl. 10 ayat (3) PP No. 47/1997 kawasan perlindungan setempat mengatur tentang kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota. Sedangkan dalam Perda No. 3/2005 tidak mengatur tentang kawasan terbuka hijau kota, termasuk di dalamnya hutan kota. Konflik norma seperti Psl. 20 ayat (1) diatur bahwa kawasan taman nasional (TN), kawasan taman hutan raya (tahura), kawasan taman wisata alam (TWA) merupakan bagian dari 'kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya' yang harus dilindungi dan tidak boleh adanya budi daya. Norma kabur dijumpai berkaitan dengan konsep kawasan suci Psl. 19 Perda No. 3/2005 yang mengatur bahwa kawasan suci mencakup: (1) kawasan pegunungan, (2) Kawasan danau, (3) kawasan campuhan, (4) kawasan pantai, (5) kawasan laut, dan (6) kawasan sekitar mata air. Pasal 19 telah mengatur pola pengelolaan kawasan suci sebagai berikut: pengelolaan kawasan pegunungan, disetarakan dengan pengelolaan kawasan hutan lindung. Pengelolaan kawasan sekitar danau dan campuhan disetarakan dengan kawasan resapan air. Pengelolaan kawasan pantai dan pengelolaan kawasan sekitar mata air disetarakan dengan pengelolaan sempadan pantai dan sekitar mata air.
Pola pengelolaan unit kawasan laut yang merupakan bagian dari kawasan suci sama sekali tidak diatur. Begitu juga pengelolaan unit kawasan pegunungan disetarakan dengan pengelolaan hutan lindung. Hal ini tidak jelas (kabur), hutan lindung batas di lapangan jelas, lalu di mana batas-batas kawasan suci pegunungan dan juga lautan
.
Dari segi kewenangan, Dalam perda No.3 tahun 2005 Bupati/wali kota sebagai kepala daerah memiliki kewenangan dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Pemprov Bali memiliki kewenangan terbatas yakni hanya menetapkan kawasan prioritas yang tidak diikuti dengan kewenangan pengendalian pemanfaatan ruang secara penuh. Dalam Perda Nomor 3 Tahun 2005, Gubernur dalam pengendalian pemanfaatan ruang hanya melakukan koordinasi dengan Bupati/Walikota.  Masa berlaku perda ini hanya 6 tahun.
Sedangkan kewenangan dalam Perda No. 16 Tahun 2009 dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan penataan ruang, pemerintah provinsi memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah kabupaten/kota (Bab IX pasal 131 ayat 2). Perda Nomor 3 Tahun 2005 tak dikenal isitilah utama mandala, madhyama mandala dan kanishta mandala. Dalam Perda No.16 tahun 2009 sudah terdapat pengaturan mengenai kawasan suci pada pasal 44 ayat 1 sampai 17 dan juga mengatur arah zonasi provinsi terhadap struktur dan pola ruang.
Dari segi  hubungan interaksi dengan masyarakat menyangkut proses pembuatan dan materi dalam Perda, dalam Perda No. 16 Tahun 2009 ini ketika masih berbentuk Ranperda RTRW Provinsi Bali yang dibuat mengalami beberapa kali perubahan, yakni Ranperda versi Februari 2009 kemudian diubah menjadi Ranperda versi Maret 2009. Karena Ranperda tersebut dibuat tanpa menggunakan kajian yang menyeluruh atas kondisi Bali. Ranperda ini juga membuka peluang terjadinya penafsiran pasal yang berbeda-beda. Analisis dan skenario di kajian akademik yang lemah menyebabkan Ranperda tersebut tidak mampu menjawab tantangan Bali 20 tahun ke depan, yaitu hingga tahun 2029. Tantangan tersebut seperti perubahan iklim, kemacetan, keadilan akses bagi kelompok terpinggirkan, alih fungsi lahan, dan lain-lain. Akhirnya untuk menyelaraskan Ranperda ini, masyarakat pun dilibatkan dengan jalan memberikan masukan terhadap Ranperda yang sedang dibahas baik secara langsung kepada DPRD Bali maupun Forum Peduli Gumi Bali, menghadiri sidang-sidang pembahasan, menyebarluaskan informasi tentang pembahasan tata ruang, mulai menyusun tata ruang dalam lingkup banjar atau pun desa, dan lain-lain sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Dalam perda No.3 tahun 2005, aspirasi masyarakat masih kurang diperhatikan,sehingga perda tersebut banyak menimbulkan konflik- konflik yang terjadi dalam masyarakat. Karena dianggap hanya menguntungkan pihak- pihak tertentu saja.
Dalam Perda No.16 Tahun 2009 terdapat hubungan antara perda dengan masyarakat yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 138 tentang hak Masyarakat, pasal 139 tentang Kewajiban Masyarakat, dan Pasal 140 tentang Peran Masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar