Sabtu, 02 Juli 2011

Perbedaan Perancangan Peraturan Daerah dan Undang-Undang


PERTANYAAN :
1) Dimanakah letak Persamaan dan Perbedaan perancangan pembentukan Undang-Undang dengan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) sampai pada tahap pengundangan (sampai berlaku) ?
2)      Telusuri apa yang dimaksud bahwa di dalam proses perancangan Peraturan Daerah (Perda) :
a.       Ada Perda yang harus dikonsultasikan dengan lembaga terkait (contoh : Perda Tata Ruang, Perda keuangan, dan sebagainya). Mengapa harus  dikonsultasikan ?
b.      Dalam proses tersebut ada yang harus dilakukan yang disebut sinkronisasi. Apakah sinkronisasi tersebut ?
c.       Apakah yang dimaksud dengan evaluasi dalam perancangan Perda (apa, kemana saja) ?
d.      Apakah yang dimaksud dengan klarifikasi dalam perancangan Perda ?

JAWABAN :
1)      Dalam Perancangan Peraturan Perundang-Undangan ada hal-hal yang diperhatikan, yakni :
- naskah akademik,
- hak inisiatif,
- pembahasan bersama,
- pengesahan,
- pengundangan (setelah ini baru berlaku umum di masyarakat)
Di dalam Perancangan Pembentukan Undang-Undang dan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) terdapat persamaan, antara lain :
Ø  Terkait pembentukannya, sesuai pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa : “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah proses pembuatan Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.”
Hal ini berarti bahwa setiap peraturan perundang-undangan (termasuk Undang-Undang dan Perda) di dalam proses pembentukannya akan sama-sama melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004.

Ø  Terkait Kerangka Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004 menentukan kerangka peraturan perundang-undangan, termasuk Perda, terdiri dari: Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan (jika diperlukan), dan Lampiran (jika diperlukan).
Ø  Terkait materi muatan mengenai ketentuan pidana, sesuai pasal 14 UU Nomor 10 Tahun 2004 ditentukan bahwa : “materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.”
Ø  Terkait partisipasi masyarakat, sesuai dengan pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa : “ masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”

Selain persamaan  pembentukan Undang-Undang dan Perda seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat pula perbedaan di dalam Pembentukan Undang-Undang dan Pembentukan Perda. Adapun perbedaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Ø  Dilihat dari segi persiapan pembentukan peraturan perundang-undangan (yang dapat mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan) :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh eksekutif maupun legislatif. Seperti yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa “Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah yang disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.”
·         Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) :
Rancangan Perda dapat diajukan oleh eksekutif maupun legislatif.  Seperti yang ditentukan dalam Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa : “Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota.”
Ø  Dilihat dari segi Materi Muatan :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Berdasarkan pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa : “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :
a. mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
     negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara,
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.”
            Sedangkan :
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Berdasarkan pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa : “Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.”
Ketentuan pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2004 ini sesuai dengan ketentuan Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004. Perda mengandung muatan mengenai urusan rumah tangga di bidang otonomi dan tugas pembantuan, sehingga merupakan salah satu bentuk perumusan kebijakan daerah, di samping bentuk perumusan lain, seperti peraturan kepala daerah dan ketentuan daerah lainnya. Penjelasan Umum angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU No. 32 Tahun 2004) menegaskan bahwa “Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain.” Karena itu, Perda yang merupakan perumusan kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,  kepentingan umum, dan Perda lain. Dengan demikian, materi muatan Perda pada hakikatnya mengenai urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah, kecuali urusan-urusan pemerintahan yang secara konstitusional menjadi urusam pemerintah pusat. Selain itu, Perda juga dapat mengatur urusan tugas pembantuan, kondisi khusus daerah, dan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.    

Ø  Dilihat dari segi penyebarluasan rancangan peraturan perundang-undangan :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 22 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden  dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa (pasal 22 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004).
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah (pasal 30 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota dilaksanakan oleh sekretaris daerah (pasal 30 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004). Hal ini diatur pula dalam pasal 142 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ø  Dilihat dari pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (Pasal 32 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 32 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004). Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khasus menangani bidang legislasi (Pasal 32 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2004). Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan rancangan undang-undang yang dibahas (Pasal 32 ayat 4 UU Nomor 10 Tahun 2004).
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota (Pasal 40 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004).
Ø  Dilihat dari proses pengesahannya :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Di dalam pembentukan undang-undang setelah rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, akan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Kemudian proses pengesahannya diatur dalam Pasal 38 UU Nomor 10 Tahun 2004 :
Pasal 38
(1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: UndangUndang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Pada pembentukan Perda, pada proses pengesahannya sama dengan pengesahan undang-undang seperti yang tercantum dalam Pasal 42 UU Nomor 10 Tahun 2004. Namun, di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah setelah Perda disahkan, perda harus disampaikan kepada pemerintah, seperti yang ditentukan dalam ketentuan pasal 145 UU Nomor 10 Tahun 2004 :
Pasal 145
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Ø  Terkait proses pengundangannya : dalam perancangan pembentukan Undang-Undang pengundangannya dilakukan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia dan dilaksanakan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan (Pasal 48 UUNomor 10 Tahun 2004), sedangkan dalam perancangan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) pengundangannya dilakukan dalam Lembaran Daerah (Pasal 49 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Untuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah (Pasal 49 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004). Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah (Pasal 49 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2004).


2)      Proses perancangan Peraturan Daerah (Perda) :
a.       Proses Konsultasi dalam proses perancangan Peraturan Daerah (Perda) adalah terkait dengan pembagian kewenangan-kewenangan berupa urusan pusat dan urusan daerah. Mengenai pembagian kewenangan ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Contoh Perda yang dikonsultasikan adalah Perda yang berkaitan dengan badan atau lembaga pemerintah terkait Perda. Konsultasi ini dimaksudkan untuk melihat alur koordinasi pembuatan rancangan Perda terhadap aturan yang lebih tinggi. sinkronisasi dan/atau harmonisasi atas substansi teknis rancangan perda untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan perda lainnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan persetujuan dari instansi pusat yang nantinya oleh Menteri Dalam Negeri dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi dan klarifikasi.
b.      Proses Sinkronisasi dalam proses perancangan Perda adalah terkait dengan Perda yang dirancang yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut. Sinkronisasi ini dilakukan dengan melihat urgensi, argumentasi dan pokok-pokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan.
c.       Proses Evaluasi dalam proses perancangan Perda adalah terkait dengan proses pengawasan dan perancangan Perda. Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di samping Pemerintahan Daerah merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI.
Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:
a. preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
b. represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
c. fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;
d. pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;
e. pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.
Mengenai jenis-jenis pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Propinsi:
a. Rancangan Perda Provinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan Gubernur sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
b. Menteri Dalam Negeri melakukan Evaluasi Rancangan Perda Propinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerima Rancangan Perda Provinsi.
c. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah, Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
d. Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi kepada Gubernur untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.
e. Gubernur melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.
f. Apabila Gubernur dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap menetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Menteri.
g. Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama dari DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri.

2. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:
a. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan Bupati/Walikota sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
b. Gubernur melakukan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu 15 (lima belas)  hari setelah menerima rancangan Perda Kabupaten/Kota.
c. Gubernur dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
d. Gubernur menyampaikan hasil evaluasi kepada Bupati/Walikota untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuaindengan hasil evaluasi.
e. Bupati/Walikota melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.
f. Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap menetapkan menjadi Perda, Gubernur dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Gubernur.
g. Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.


d.      Proses Klarifikasi dalam proses perancangan Perda adalah terkait dengan pengkajian terhadap Peraturan Daerah apakah bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Proses klarifikasi ini sesungguhnya bersamaan dilakukan dengan proses evaluasi yang terkait pengawasan. Adapun proses klarifikasi tersebut meliputi sebagai berikut :
1. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:
a. Perda disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
b. Pemerintah melakukan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalam waktu 60 hari.
c. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden.
d. Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda; Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari setelah pembatalan.

2. Pengkajian/klarifikasi dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Wilayah Daerah dilakukan evaluasi sebagai berikut:
a. Rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.
b. Biro Hukum mendistribusikan rancangan Perda kepada komponen terkait di lingkungan Departemen Dalam Negeri.
c. komponen terkait melakukan pengkajian/klarifikasi dan evaluasi rancangan rancangan Perda bersama tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat Jenderal dan komponen terkait.
d. hasil pengkajian/klarifikasi dan evaluasi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.
e. hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam Negeri disampaikan kepada Gubernur oleh Biro Hukum.

3. Pembatalan Perda yang tidak sesuai dengan hasil evaluasi:
a. Perda yang diterima oleh Biro Hukum disesuaikan dengan hasil evaluasi Menteri.
b. Apabila Perda yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri, Biro Hukum menyiapkan rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda setelah berkoordinasi dengan komponen terkait (OTDA, BAKD, PUM, BANGDA).
c. Apabila Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri dilakukan klarifikasi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari.
d. Apabila hasil klarifikasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri menyiapkan rancangan Peraturan Presiden setelah berkoordinasi dengan instansi terkait dan menyampaikan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Kabinet.
            e. Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perda disampaikan kepada Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

Asas dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama


BAB I
PENDAHULUAN


1.1    LATAR BELAKANG
   Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.
Kekuasaannya kadangkala berbenturan dengan Peradilan Umum karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh Pemerintah Jajahan, sebab Pemerintah Jajahan sejak semula memang sangat khawatir terhadap hukum Islam lantaran hukum islam itu, disamping bertentangan dengan agama mereka, juga merupakan hukum yang sebagaian besar dianut oleh Bangsa Indonesia. Memberikan hak hidup kepada hukum Islam sama artinya dengan memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia.
Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986.
Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, PTUN dan lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.
Yang patut disayangkan, UU No. 7 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya, terdapat hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri; Pengadilan Agama tidak berwenang menangani sengketa hak milik dan sebagainya. Dengan adanya desakan dan masukan dari praktisi hukum maupun masyarakat yang beragama Islam, maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi UU No. 7 tentang Peradilan Agama di Indonesia. Dengan adanya UU ini Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan fungsinya.

1.2    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.2.1    Apakah asas-asas yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Agama ?
1.2.2    Apakah sumber hukum Acara Peradilan Agama ?


1.3    TUJUAN PENULISAN
Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah :
1.3.1    Untuk mengetahui asas-asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan agama di Indonesia
1.3.2    Untuk mengetahui sumber hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia.











BAB II
TINJAUAN UMUM


PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
   Sebelum membahas perihal pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, akan dikemukanan terlebih dahulu tentang pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perkara perdata Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat Islam yang mengatur tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”.
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh





BAB III
PEMBAHASAN


3.1    ASAS-ASAS  DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama adalah meliputi sebagai berikut :
A.1.  Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
1)         Asas Bebas Merdeka
  Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
2)        Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
  Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3)        Asas Ketuhanan
        Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4)        Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk  kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
5)        Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
6)        Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

A.2.   Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1)         Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a)    Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b)    Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c)    Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
2)        Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3)        Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
4)        Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a.           Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
b.           Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c.            Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
5)        Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6)        Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7)        Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8)        Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9)        Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

3.2    SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
         Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan Negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaannya.
         Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka peradilan agama dahulunya mempergunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun kini, setelah terbitnya UU No. 7 tahun 1989, yang berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember 1989), maka hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ini berbunyi sebagai berikut :
“Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum acara Perdata yang berlaku dalam lingkunganPeradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
         Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Uu No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
         Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara lain :
1.            HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui).
2.            RBg (Rechts Reglemen Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk Luar Jawa-Madura.
3.            Rsv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.
4.            UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (sekarang UUNo. 2 Tahun 1998 tentang Peradilan Umum).
Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan agama adalah :
1.            UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiaman. (sekarang UU initelah direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan direvisi kembali menjadi UU No. 48 Tahun 2009)
2.            UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
3.            UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan Pelaksanaannya.
Jika demikian halnya maka Peradilan agama dalam Hukum Acaranya minimal harus memperhatikan Uu No.7 Tahun 1989, ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan tadi.
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama Yaitu :
Pertama
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
:
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Shadaqah
h. Infaq, dan
i. Ekonomi syari’ah
Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :
a. Bank syari’ah
b. Asuransi syari’ah
c. Reasuransi syari’ah
d. Reksadana syari’ah
e. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
f. Sekuritas syari’ah
g. Pembiayaan syari’ah
h. Pegadaian syari’ah
i. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
j. Bisnis syari’ah, dan
k. Lembaga keuangan mikro syari’ah
Kedua

Diberikan tugas dan wewena
ng penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama.

Ketiga
Diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal.





Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex Specialis”

Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogot Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.























BAB IV
PENUTUP


4.1    SIMPULAN
Adapun simpulan yang dapat dirumuskan dari rumusan masalah dan pembahasan di atas adalah sebagai berikut :
1.      Bahwa asas dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat di bagi dua, yakni asas Umum Lembaga Peradilan Agama dan Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama. Dimana kedua asas tersebut terbagi lagi dalam beberapa asas.
2.      Bahwa sumber hukum acara peradilan agama saat ini adalah UU No. 3 Tahun 2006. Meskipun saat ini telah berlaku UU No. 3 Tahun 2006 namun terhadap hal-hal yang tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tetap berlaku UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.


4.2    SARAN-SARAN
Adapun saran-saran yang dapat diberikan terhadap permasalahan dan pembahasan di atas adalah :
1.      Diharapkan agar asas-asas dalam acara Peradilan Agama dapat diterapkan secara factual agar tercipta suatu peradilan yang benar-benar member keadilan bagi pihak-pihak di dalamnya.
2.      Diharapkan agar segala sumber hukum dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat dijadikan pedoman bagi berjalannya proses beracara di Pengadilan Agama dan proses penyelesaian perkara yang diajukan di Pengadilan Agama sehingga tidak ada lagi keluhan-keluhan tentang kesulitan beracara di Pengadilan Agama.