Senin, 07 November 2011

SEKELUMIT TENTANG MEDIASI PENAL SEBAGAI PROSES ADR DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

1.      Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam  istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat  ATA)) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama memperte-mukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).

2.      Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan isti-lah ADR atau ”Alternative Dispute Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

3.      Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang  ada di dalam ma-syarakat (musyawarah keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

4.      Dalam perkembangan wacana teoritik mau-pun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecende-rungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.

5.      Mediasi pidana yang dikembangkan itu ber-tolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut :
a.        Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b.       Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb.
c.        Proses informal (Informal Proceeding - Informalität):
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d.        Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partici-pation - Parteiautonomie/Subjektivie-rung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

6.      Model-model Mediasi Pidana :
Dalam “Explanatory memorandum” dari Rekomendai Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal  sebagai berikut :
a.       "informal mediation"
b.       "Traditional village or tribal moots"
c.        "victim-offender mediation"
d.       ”Reparation negotiation programmes"
e.        "Community panels or courts"
f.         "Family and community group conferen-ces",

Ad (a) : Model "informal mediation"
*      Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice person-nel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk mela-kukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penun-tutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim.
*      Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

Ad (b) : Model "Traditional village or tribal moots" Menurut model ini, seluruh masyarakat ber-temu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. 
-       Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/ pedalaman. 
-       Model ini lebih memilih keuntungan bagi  masyarakat luas.
-       Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Pro-gram mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

Ad (c) : Model "victim-offender mediation"
-       Mediasi antara korban dan pelaku meru-pakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. 
-       Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal,  mediator independen, atau kombi-nasi.
-       Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijak-sanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.
-       Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.

Ad (d) : Model ”Reparation negotiation programmes"
-       Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. 
-       Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel.
-       Dalam model  ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.

Ad (e) : Model "Community panels or courts"
-       Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penun-tutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan infor-mal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

Ad (f) : Model "Family and community group conferences"
-       Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan parti-sipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. 
-       Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang kompre-hensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

CATATAN KECIL HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

1.      Perjanjian yang pernah diadakan di masa lampau di Indonesia oleh VOC dengan raja-raja/kepala2 negeri bumiputera tidak termasuk dalam perjanjian internasional dalam arti yang sedang diperbincangkan dalam konteks ini dan lebih merupakan perjanjian internasional semu (quasi international treaties) serta subjek-subjek yang membuat perjanjian itu tidak atau belum dapat dianggap sebagai subjek HI (Subjek HI meliputi negara, organisasi internasional, takhta suci vatikan, pemberontak, individu). Di samping itu ada keberatan lain yang berdasarkan pertimbangan politik yang timbul terutama dalam decade terakhir bahwa perjanjian2 yang demikian secara politik merupakan perjanjian yang tidak seimbang (unequal treaties) meskipun secara formal perjanjian2 tersebut mungkin sah secara hukum.
2.      Perbedaan perjanjian bilateral dan multilateral adalah :
Berdasarkan jumlah pesertanya, PI dapat dibedakan atas Perjanjian Bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian Bilateral adalah perjanjian internasional yang jumlah pesertanya atau pihaknya terdiri atas dua pihak. Sedangkan perjanjian multilateral adalah perjanjian internasional yang terdiri atas lebih dari dua pihak. Hal penting yang membedakan keduanya adalah :
·         Dalam pensyaratan (reservasi). Pensyaratan adalah bahwa suatu negara/peserta perjanjian mengajukan suatu syarat tertentu sebelum menyatakan kesediannya untuk terikat dalam perjanjian itu. Misalnya, suatu negara menyatakan bersedia terikat dalam perjanjian sepanjang suatu ketentuan tertentu dari perjanjian tersebut tidak diberlakukan terhadapnya. Dalam Perjanjian Bilateral jika suatu pihak mengajukan pensyaratan namun tidak diterima oleh pihak lainnya maka otomatis tidak akan lahir suatu perjanjian. Sebaliknya jika pensyaratan itu diterima oleh pihak lainnya maka dengan sendirinya telah lahir suatu perjanjian karena penerimaan itu sama artinya kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat.
Namun, dalam perjanjian multilateral, jika suatu pihak mengajukan pensyaratan dan hal itu diterima oleh peserta lainnya maka masih mungkin lahir suatu perjanjian yaitu perjanjian pensyaratan sepanjang pensyaratan itu tidak dilarang. Dengan kata lain, suatu perjanjian multilateral tetap dapat disahkan sebagai perjanjian namun satu/lebih ketentuannya tidak berlaku atau mengikat terhadap para pihak yang mengajukan pensyaratan, sedangkan pihak-pihak yang tidak melakukan pensyaratan seluruh ketentuan dalam perjanjian itu berlaku atau mengikat.
·         Dalam kaitannya dengan sifat/kaidah hukum yang dilahirkan oleh perjanjian tersebut. Perjanjian bilateral melahirkan kaidah hukum yang mengikat hanya kedua belah pihak saja yang membuat perjanjian itu. Sebab perjanjian bilateral biasanya memang mengatur kepentingan2 yg sangat khusus antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan pihak ketiga tidak turut menjadi pihak dalam perjanjian itu. Oleh karena itulah, perjanjian bilateral juga disebut perjanjian tertutup (closed treaty). Ada juga yang menyebutnya treaty contract karena perjanjian itu hanya melahirkan kaidah hukum bagi pihak2 yang membuatnya.
Sedangkan perjanjian multilateral, sifat kaidah hukumnya dilahirkan oleh perjanjian itu lazimnya bersifat umum, meskipun dapat bersifat khusus. Hal itu bergantung pada corak perjanjian itu, yaitu apakah tertutup atau terbuka. Misalnya perjanjian multilateral yang diadakan oleh negara2 asia tenggara dalam kerangka ASEAN. Perjanjian ini bersifat khusus karena coraknya tertutup. Sebab ia menutup kemungkinan bagi negara di luar asia tenggara untuk ikut menjadi pihak didalamnya. Jadi dilihat dari persfektif coraknya perjanjian multilateral dimungkinkan bersifat tertutup sebagaimana halnya dengan perjanjian bilateral. Sebaliknya perjanjian bilateral tidak mungkin bercorak terbuka melainkan senatiasa tertutup.
Sementara itu PI yang bercorak terbuka dan bersifat umum dapat diketahui dari substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu. Maksudnya substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu tidak semata-mata bersangkut paut dengan kepentingan negara2 yang menjadi pihak dari perjanjian itu tetapi juga kepentingan negara ketiga sehingga bagi negara ketiga ini dimungkinkan untuk turut serta menjadi pihak sekalipun ia tidak sejak awal merupakan peserta perjanjian itu. Dengan kata lain perjanjian semacam ini melahirkan kaidah hukum yang bersifat umum atau sering disebut law making treaty.

3.      Perbedaan aksesi dan adhesi dalam PI :
- Aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu klausula, sedangkan adhesi dapat berupa penerimaan hanya sebagian dari perjanjian.
- Aksesi meliputi keikutsertaan dalam perjanjian dengan status yang sama dengan penandatangan-penandatangan asli, sedangkan adhesi semata-mata menunjuk pada persetujuan atas prinsip-prinsip perjanjian.
- Aksesi dalam PI bahwa suatu negara tidak pernah ikut perundingan tetapi ingin ikut dalam perjanjian maka negara tersebut ikut menandatangani dan tunduk pada seluruh isi perjanjian. Sedangkan Adhesi, suatu negara ikut sejak awal proses/tahap pembentukan PI tetapi tidak menyetujui semua pasal dalam PI, hanya tunduk pada beberapa pasal saja yang disetujuinya (ada reservasi).
  

4.      Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt :
asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani kewajiban kepada pihak-pihak yang tidak terikat kepada perjanjian itu.
Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.

- Cara2 negara terikat dlm PI :
      1. penandatanganan (signature)
      2. pertukaran instrument yang melahirkan suatu PI
      3. pengesahan atau ratifikasi
      4. penerimaan (akseptasi)
      5. persetujuan
      6. penambahan (aksesi)
      7. cara lain yg disetujui oleh para pihak

- surat kuasa penuh : pasal 7 ayat 2 konvensi wina 1969 sejumlah pejabat negara karena kedudukan dan jabatannya dianggapselalu bertindak atas nama negaranya sehingga tidak memerlukan surat kuasa penuh, yakni:
      1. kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri.
      2. kepala misi diplomatic, khusus bagi pembuatan dan pengikatan diri dalam PI yang dibuat negaranya dengan negara tempat ia ditempatkan atau diakreditasikan.
      3. wakil-wakil yang ditempatkan atau diakreditasikan oleh negaranya di lembaga-lembaga internasional, khusus dalam hubungannya dengan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat negaranya dengan organisasi internasional tempat ia diakreditasikan.

- PI yg perlu diratifikasi dgn UU di Indonesia menyangkut :
      1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
      2. perubahan wilayah/penetapan batas wilayah RI
      3. kedaulatan/hak berdaulat negara
      4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
      5. pembentukan kaidah hukum baru
      6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri

Tahapan pembentukan PI :
1. penunjukan wakil masing2 pihak yg diberi tugas dan wewenang utk mengadakan perundingan
2. menyerahkan surat kuasa penuh
3. perundingan (membahas dan merumuskan pasal2 perjanjian)
4. penerimaan naskah perjanjian
5. pengesahan (oleh peserta perjanjian)

CONTOH SURAT KUASA

SURAT KUASA


Yang bertanda tangan dibawah ini :-------------------------------------------------------------------------I MADE DARMA, laki-laki, pekerjaan Swasta, lahir di Denpasar, tanggal 15-01-1970 (lima belas Januari seribu sembilan ratus tujuh puluh) , Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Jalan A.Yani Utara No. 115, Peguyangan Kaja, Denpasar, Banjar Dualang, Desa Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, Kotamadya Denpasar, Propinsi Bali, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor : 22.5002.211567.1880, --Dengan ini memberikan kuasa kepada :---------------------------------------------------------------------I MADE ADITYA SUDIATMIKA, SH.MH, Advokat/Pengacara, berkantor di Jalan Gatot Subroto Timur No. 66, Banjar Lumintang, Desa Lumintang, Kecamatan Denpasar Barat, Kotamadya Denpasar, Propinsi Bali, Pemegang Ijin Advokat No. 1679/AD/2006, Tertanggal 2 Juli 2006.-----------
-------------------------------------------------------KHUSUS-------------------------------------------Bertindak untuk dan atas nama saya (pemberi kuasa)--------------------------------------------------------          Selaku Tergugat dalam perkara perdata No. 156/PDT/2010/PN.Dps, tertanggal 13 Februari 2010.
-------------------------------------------------------MELAWAN----------------------------------------I WAYAN SUDIRA, laki-laki, pekerjaan Swasta, lahir di Denpasar, tanggal 14-10-1965 (empat belas Oktober seribu sembilan ratus enam puluh lima) , Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Jalan A.Yani Utara No. 112, Peguyangan Kaja, Denpasar, Banjar Dualang, Desa Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, Kotamadya Denpasar, Propinsi Bali, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor : 22.5002.211567.1879, -------------------------------------------------------------------------------------          Selaku Penggugat dalam perkara perdata No. 156/PDT/2010/PN.Dps, tertanggal 13 Februari 2010.

-    Untuk keperluan tersebut menghubungi dan menghadap dimana perlu, terutama pada pihak-pihak yang bersangkutan instansi-instansi pemerintah, swasta, dan peradilan, memberikan dan/atau meminta keterangan-keterangan, membuat atau menyuruh membuat serta menandatangani dan menyampaikan segala surat/akta, termasuk surat-surat permohonan, gugatan, perlawanan/verzet, dan/atau pembelaan, menghadiri panggilan-panggilan dan sidang-sidang, mengajukan atau menolak segala macam bukti termasuk saksi-saksi, persitaan, bersumpah menyuruh bersumpah atau menolak sumpah, menerima atau menyerahkan surat-surat, barang-barang, uang dan lain sebagainya serta memberikan/meminta tanda terimanya, memilih domisili, mengadakan perdamaian, baik dimuka pengadilan maupun diluar pengadilan, menyatakan banding, membuat dan menandatangani memori kasasi, dan selanjutnya melakukan segala tindakan yang dianggar perlu dalam rangka membela hak dan kepentingan pemberi kuasa, sebagaimana yang dapat, boleh atau harus dilakukan oleh penerima kuasa, tanpa pengecualian, kesemuanya itu dengan kesanggupan pemberi kuasa untuk menyetujui dan mengesahkan segala tindakan dari yang dikuasakan, dengan ikatan menurut undang-undang :----
-    Kuasa ini diberikan dengan hak untuk memindahkan (substitusi) kepada pihak lebih baik sebagian atau seluruhnya :-----------------------------------------------------------------------------------------------
Demikian surat kuasa ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan dimana perlu:--------

                                                                                                 Denpasar,    23 Maret 2010

                 Penerima Kuasa                                                                   Pemberi Kuasa
                                                                                                           (bermeterai cukup)



I MADE ADITYA SUDIATMIKA, SH.MH                             I MADE DARMA

BOLEHKAH LEMBAGA NEGARA MENGGUGAT LEMBAGA NEGARA LAIN DALAM HAL KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) ??

Dalam pasal 1 angka 5 UU No. 9 tahun 2004 disebutkan bahwa gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan. Dalam pasal 1 angka 6 UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan putusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Pasal 53 ayat (1) UU no. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar putusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pasal 1 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2004,
Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang/badan hukum perdata dengan badan/pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut di atasdapat dilihat tentang hal-hal sebagai berikut :
1.      Hanya orang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
2.      Mengenai badan atau pejabat TUN adalah :
a.       Selalu berkedudukan sebagai pihak tergugat.
b.      Tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan TUN lainnya.
c.       Tidak dapat menggugat orang atau badan hukum perdata bilamana yang bersangkutan tidak mengindahkan Keputusan Tata Usaha Negara, ke pengadilan TUN.
d.      Tidak diperkenankan mengajukan gugatan balik (rekonvensi).
e.       Selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan Keputusan yang dikeluarkan terhadap tuduhan penggugat.
3.      Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis. Bentuk tertulis sangatlah penting karena gugatan tersebut akan digunakan sebagai pegangan oleh pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Bagi penggugat yang buta aksara dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat (secara lisan) kepada panitera pengadilan ini yang membantunya merumuskan gugatan tersebut dalam bentuk tertulis.
4.      Tuntutan yang dapat diajukan oleh penggugat adalah terbatas karena :
a.       Tuntutan pokok hanya satu macam saja, yaitu berupa tuntutan agar Keputusan TUN yang telah merugikan kepentingannya penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
b.      Tuntutan tambahan yang diperbolehkan yang diperbolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi, dan khusus pada sengketa kepegawaian diperbolehkan tuntutan tambahan lainnya berupa tuntutan rehabilitasi (pemulihan kepada keadaan semula).

Dalam asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, terdapat asas “Mengutamakan Perlindungan Kepada Rakyat Pencari Keadilan”. Rakyat pencari keadilan maksudnya adalah setiap warga negara Indonesia atau bukan, dan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Asas ini sesuai dengan maksud diadakannya Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam Penjelasan Umum angka 1 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan sebagai akibat Keputusan tata Usaha Negara. Adanya asas ini dapat kita lihat dari keadaan sebagai berikut :
1.    Ditentukannya kedudukan yang tetap, tidak dapat dirubah antara penggugat yaitu orang atau badan hukum perdata atau rakyat pencari keadilan dengan tergugat yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara, artinya penggugat tidak dapat nantinya menjadi tergugat dan demikian sebaliknya (pasal 1 angka 6 dan pasal 53 angka 1 UU no. 5 Tahun 1986). Oleh karena adalah berbeda dengan Hukum acara perdata, dimana dalam HAPTUN tidak mengenal adanya “rekonvensi” atau gugatan balik atau gugatan pembalasan. Tergugat tidak diperbolehkan menggunakan kesempatan pada waktu pemeriksaan mengajukan gugatan balik terhadap penggugat karena adanya rekonvensi ini akan menyebabkan kedudukan tergugat berubah menjadi penggugat dan penggugat berubah menjadi tergugat. Jadi dalam HAPTUN hanya dikenal konvensi, yaitu tuntutan penggugat dalam gugatan.
Sehingga dalam hal suatu lembaga Negara ingin menggugat lembaga Negara lainnya dalam hal KTUN secara yuridis tidak diperbolehkan menurut UU No 4 Tahun 2004.
Namun jika terjadi sengketa Tata Usaha Negara intern lembaga Negara, yakni sengketa antara administrasi Negara yang terjadi di dalam departemen/instansi maupun sengketa yang terjadi antardepartemen/instansi (sengketa hukum antar wewenang), maka :
1.      UU-PTUN tidak membuka peluang bagi sengketa intern
2.      Sengketa antarlembaga Negara yang kewenangannya diatur dalam UUD, diselesaikan oleh MK.
3.      Sengketa kewenangan lainnya tidak diatur lembaga mana yang menyelesaikan.
Jadi, kesimpulannya adalah secara yuridis, menurut UU No. 9 Tahun 2004 suatu lembaga Negara atau badan hukum public tidak dapat menggugat lembaga negara lainnya dalam hal KTUN yang dikeluarkan, karena dalam UU ini tegas dinyatakan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata (pasal 1 angka 6 UU No. 4 Tahun 2004) dan diatur pula dalam pasal 53 UU No. 4 Tahun 2004.

Sabtu, 02 Juli 2011

Perbedaan Perancangan Peraturan Daerah dan Undang-Undang


PERTANYAAN :
1) Dimanakah letak Persamaan dan Perbedaan perancangan pembentukan Undang-Undang dengan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) sampai pada tahap pengundangan (sampai berlaku) ?
2)      Telusuri apa yang dimaksud bahwa di dalam proses perancangan Peraturan Daerah (Perda) :
a.       Ada Perda yang harus dikonsultasikan dengan lembaga terkait (contoh : Perda Tata Ruang, Perda keuangan, dan sebagainya). Mengapa harus  dikonsultasikan ?
b.      Dalam proses tersebut ada yang harus dilakukan yang disebut sinkronisasi. Apakah sinkronisasi tersebut ?
c.       Apakah yang dimaksud dengan evaluasi dalam perancangan Perda (apa, kemana saja) ?
d.      Apakah yang dimaksud dengan klarifikasi dalam perancangan Perda ?

JAWABAN :
1)      Dalam Perancangan Peraturan Perundang-Undangan ada hal-hal yang diperhatikan, yakni :
- naskah akademik,
- hak inisiatif,
- pembahasan bersama,
- pengesahan,
- pengundangan (setelah ini baru berlaku umum di masyarakat)
Di dalam Perancangan Pembentukan Undang-Undang dan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) terdapat persamaan, antara lain :
Ø  Terkait pembentukannya, sesuai pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa : “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah proses pembuatan Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.”
Hal ini berarti bahwa setiap peraturan perundang-undangan (termasuk Undang-Undang dan Perda) di dalam proses pembentukannya akan sama-sama melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004.

Ø  Terkait Kerangka Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004 menentukan kerangka peraturan perundang-undangan, termasuk Perda, terdiri dari: Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan (jika diperlukan), dan Lampiran (jika diperlukan).
Ø  Terkait materi muatan mengenai ketentuan pidana, sesuai pasal 14 UU Nomor 10 Tahun 2004 ditentukan bahwa : “materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.”
Ø  Terkait partisipasi masyarakat, sesuai dengan pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa : “ masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”

Selain persamaan  pembentukan Undang-Undang dan Perda seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat pula perbedaan di dalam Pembentukan Undang-Undang dan Pembentukan Perda. Adapun perbedaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Ø  Dilihat dari segi persiapan pembentukan peraturan perundang-undangan (yang dapat mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan) :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh eksekutif maupun legislatif. Seperti yang ditentukan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa “Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah yang disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.”
·         Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) :
Rancangan Perda dapat diajukan oleh eksekutif maupun legislatif.  Seperti yang ditentukan dalam Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa : “Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota.”
Ø  Dilihat dari segi Materi Muatan :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Berdasarkan pasal 8 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa : “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :
a. mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
     negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara,
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untak diatur dengan Undang-Undang.”
            Sedangkan :
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Berdasarkan pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa : “Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.”
Ketentuan pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2004 ini sesuai dengan ketentuan Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004. Perda mengandung muatan mengenai urusan rumah tangga di bidang otonomi dan tugas pembantuan, sehingga merupakan salah satu bentuk perumusan kebijakan daerah, di samping bentuk perumusan lain, seperti peraturan kepala daerah dan ketentuan daerah lainnya. Penjelasan Umum angka 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU No. 32 Tahun 2004) menegaskan bahwa “Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta Peraturan Daerah lain.” Karena itu, Perda yang merupakan perumusan kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,  kepentingan umum, dan Perda lain. Dengan demikian, materi muatan Perda pada hakikatnya mengenai urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah, kecuali urusan-urusan pemerintahan yang secara konstitusional menjadi urusam pemerintah pusat. Selain itu, Perda juga dapat mengatur urusan tugas pembantuan, kondisi khusus daerah, dan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.    

Ø  Dilihat dari segi penyebarluasan rancangan peraturan perundang-undangan :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 22 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden  dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa (pasal 22 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004).
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah (pasal 30 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota dilaksanakan oleh sekretaris daerah (pasal 30 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004). Hal ini diatur pula dalam pasal 142 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ø  Dilihat dari pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (Pasal 32 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 32 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004). Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khasus menangani bidang legislasi (Pasal 32 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2004). Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh komisi yang membidangi materi muatan rancangan undang-undang yang dibahas (Pasal 32 ayat 4 UU Nomor 10 Tahun 2004).
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota (Pasal 40 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004).
Ø  Dilihat dari proses pengesahannya :
·         Pembentukan Undang-Undang :
Di dalam pembentukan undang-undang setelah rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, akan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Kemudian proses pengesahannya diatur dalam Pasal 38 UU Nomor 10 Tahun 2004 :
Pasal 38
(1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
(3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: UndangUndang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
·         Pembentukan Peraturan Daerah :
Pada pembentukan Perda, pada proses pengesahannya sama dengan pengesahan undang-undang seperti yang tercantum dalam Pasal 42 UU Nomor 10 Tahun 2004. Namun, di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah setelah Perda disahkan, perda harus disampaikan kepada pemerintah, seperti yang ditentukan dalam ketentuan pasal 145 UU Nomor 10 Tahun 2004 :
Pasal 145
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Ø  Terkait proses pengundangannya : dalam perancangan pembentukan Undang-Undang pengundangannya dilakukan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia dan dilaksanakan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan (Pasal 48 UUNomor 10 Tahun 2004), sedangkan dalam perancangan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) pengundangannya dilakukan dalam Lembaran Daerah (Pasal 49 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004). Untuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah (Pasal 49 ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2004). Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah (Pasal 49 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2004).


2)      Proses perancangan Peraturan Daerah (Perda) :
a.       Proses Konsultasi dalam proses perancangan Peraturan Daerah (Perda) adalah terkait dengan pembagian kewenangan-kewenangan berupa urusan pusat dan urusan daerah. Mengenai pembagian kewenangan ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Contoh Perda yang dikonsultasikan adalah Perda yang berkaitan dengan badan atau lembaga pemerintah terkait Perda. Konsultasi ini dimaksudkan untuk melihat alur koordinasi pembuatan rancangan Perda terhadap aturan yang lebih tinggi. sinkronisasi dan/atau harmonisasi atas substansi teknis rancangan perda untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan perda lainnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan persetujuan dari instansi pusat yang nantinya oleh Menteri Dalam Negeri dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi dan klarifikasi.
b.      Proses Sinkronisasi dalam proses perancangan Perda adalah terkait dengan Perda yang dirancang yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut. Sinkronisasi ini dilakukan dengan melihat urgensi, argumentasi dan pokok-pokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan.
c.       Proses Evaluasi dalam proses perancangan Perda adalah terkait dengan proses pengawasan dan perancangan Perda. Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan. Di samping Pemerintahan Daerah merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI.
Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005 dilakukan secara:
a. preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
b. represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
c. fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;
d. pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;
e. pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.
Mengenai jenis-jenis pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Propinsi:
a. Rancangan Perda Provinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan Gubernur sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
b. Menteri Dalam Negeri melakukan Evaluasi Rancangan Perda Propinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah menerima Rancangan Perda Provinsi.
c. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah, Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
d. Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi kepada Gubernur untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.
e. Gubernur melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.
f. Apabila Gubernur dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap menetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Menteri.
g. Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama dari DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri.

2. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:
a. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan Bupati/Walikota sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
b. Gubernur melakukan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu 15 (lima belas)  hari setelah menerima rancangan Perda Kabupaten/Kota.
c. Gubernur dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sedangkan Rancangan Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
d. Gubernur menyampaikan hasil evaluasi kepada Bupati/Walikota untuk melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuaindengan hasil evaluasi.
e. Bupati/Walikota melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.
f. Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap menetapkan menjadi Perda, Gubernur dapat membatalkan Perda dengan Peraturan Gubernur.
g. Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.


d.      Proses Klarifikasi dalam proses perancangan Perda adalah terkait dengan pengkajian terhadap Peraturan Daerah apakah bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Proses klarifikasi ini sesungguhnya bersamaan dilakukan dengan proses evaluasi yang terkait pengawasan. Adapun proses klarifikasi tersebut meliputi sebagai berikut :
1. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:
a. Perda disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
b. Pemerintah melakukan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalam waktu 60 hari.
c. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden.
d. Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda; Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari setelah pembatalan.

2. Pengkajian/klarifikasi dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang Wilayah Daerah dilakukan evaluasi sebagai berikut:
a. Rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.
b. Biro Hukum mendistribusikan rancangan Perda kepada komponen terkait di lingkungan Departemen Dalam Negeri.
c. komponen terkait melakukan pengkajian/klarifikasi dan evaluasi rancangan rancangan Perda bersama tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat Jenderal dan komponen terkait.
d. hasil pengkajian/klarifikasi dan evaluasi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.
e. hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam Negeri disampaikan kepada Gubernur oleh Biro Hukum.

3. Pembatalan Perda yang tidak sesuai dengan hasil evaluasi:
a. Perda yang diterima oleh Biro Hukum disesuaikan dengan hasil evaluasi Menteri.
b. Apabila Perda yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri, Biro Hukum menyiapkan rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda setelah berkoordinasi dengan komponen terkait (OTDA, BAKD, PUM, BANGDA).
c. Apabila Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri dilakukan klarifikasi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari.
d. Apabila hasil klarifikasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri menyiapkan rancangan Peraturan Presiden setelah berkoordinasi dengan instansi terkait dan menyampaikan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Kabinet.
            e. Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perda disampaikan kepada Gubernur oleh Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.