Rabu, 03 April 2013

LIMA DALIL MEUWISSEN TENTANG FILSAFAT HUKUM


LIMA DALIL MEUWISSEN TENTANG FILSAFAT HUKUM


A.    Dalil Pertama : Filsafat Hukum adalah filsafat. Karena itu, ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum.
Komentar :
Filsafat adalah suatu tindakan berpikir secara cermat dan hati-hati terhadap suatu gejala-gejala yang terjadi di masyarakat. Mempelajari filsafat sama halnya dengan mencari hakikat atau landasan dari gejala-gejala yang lebih dalam serta ciri khasnya. Yang terpenting adalah setiap dalil filsafat harus dibuat dan dipahami secara rasional (terargumentasikan). Bahwa pada dalil pertama ini terdapat 5 (lima) unsur filsafat yang merenungkan semua masalah yang fundamental dan marginal yang berkaitan dengan gejala hukum, yakni : Pertama, Filsafat merefleksi tentang landasan dari kenyataan. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas jika menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berpikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indriawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Filsafat merupakan kegiatan berpikir, yang artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain, filsafat berupaya merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Hingga pada suatu simpulan bahwa filsafat bukanlah kepercayaan  atau dogmatika. Kedua, berkaitan dengan kepercayaan. Kepercayaan merupakan suatu bentuk kepastian yang langsung. Bahwa kebenaran suatu pendirian dapat diterima begitu saja tanpa argumentasi yang berarti jika berdasarkan atas kepercayaan. Umumnya, orang-orang menerima suatu pendirian sebagai benar atas dasar kewibawaan seseorang yang lainnya. Hal ini dapat berarti bahwa orang mempercayai argumentasi rasional dari seorang ahli atau pakar yang memiliki kewibawaan (otoritas), yang artinya argumentasi tersebut dapat diterima begitu saja, karena mereka mempercayai bahwa seorang ahli atau pakar adalah orang-orang yang mempunyai otoritas untuk mengemukakan suatu argumentasi karena bidang keahliannya memang telah diakui sebagai ahli atau pakar. Filsafat akan bersifat dogmatikal jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh. Filsafat dogmatik secara praktikal akan menyebabkan kekakuan dan akan mengganggu keterbukaan hakiki dari komunikasi yang manusiawi. Ketiga, Filsafat harus memenuhi syarat “rasionalitas” yang artinya bahwa penalaran-penalaran kefilsafatan harus sah secara logikal, yakni memenuhi aturan-aturan yang ditetapkan oleh logika serta pemilihan premis-premis dan rasionalitas ini berkaitan dengan formulasi kesimpulan harus mempertahankan suatu “struktur terbuka”. Struktur terbuka di sini berarti bahwa selalu terbuka bagi suatu bantahan-bantahan rasional dalam dialog yang suasana di dalamnya, suatu kebenaran dapat dan harus ditemukan. Namun, titik beratnya adalah pada hubungan yang erat antara rasio dan emosi. Perasaan dan rasio tidak boleh dipertentangkan. Filsafat yang rasional tidak boleh mengabaikan emosionalitas karena emosinalitas memiliki logikanya sendiri dan tidak diragukan memiliki momen-momen kognitif. Bahwa hubungan antara rasio dan perasaan ini merupakan suatu kefilsafatan yang terbuka dimana harus dipikirkan bagaimana cara saling berhubungan serta bentuk realisasi hubungan ini. Keempat, bahwa filsafat merupakan refleksi sistematikal terhadap landasan dari kenyataan. Dalam memahami kenyataan, filsafat mencoba menelusuri asas-asas yang menjadi landasan dari kenyataan itu. Terdapat banyak aliran filsafat (pluriformitas), dimana pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan dalam suatu periode dan periode lainnya tidaklah sama apa yang menjadi permasalahannya. Indikatornya adalah pemikiran manusia sesuai dengan waktu dan tempatnya. Sehingga pada hakikatnya, filsafat bersifat historikal, artinya filsafat yang satu (dari periode tertentu) tidak lebih berharga dari filsafat periode lainnya. Setiap filsuf memiliki pretensi bahwa ia telah merumuskan suatu keyakinan yang bagi orang lain juga meyakinkan (berkaitan dengan kepercayaan terhadap ahli/pakar) sehingga juga harus diterima oleh orang lain. Historitas atau sejarah filsafat adalah esensial untuk filsafat, bahwa filsafat tanpa sejarah filsafat tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga arogan. Oleh karena itu tidak ada filsuf besar yang mengabaikan studi sejarah filsafat secara mendasar. Kelima, bahwa filsafat merefleksi berbagai masalah dan persoalan. Melihat kembali pada sejarah filsafat  bahwa telah mencapai beberapa cabang filsafat yang telah menjadi spesialisasi mandiri, seperti metafisika, teori pengetahuan epistelologi, logika, etika, estetika. Cabang filsafat lainnya adalah filsafat ilmu dan filsafat hukum. Namun, meskipun telah mandiri, pengembanan suatu bagian dari filsafat tanpa melibatkan keterikatannya pada keseluruhan akan menyebabkan kesepihakan dan kecenderungan yang berlebihan. Pada, filsafat hukum adalah bentu dari filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala hukum, namun pemikiran filsafat hukum telah berlangsung dalam kerangka suatu orientasi kefilsafatan umum.
v  Sehingga, dari 5 (unsur) dalam Dalil Pertama ini, dapat diberikan analisa secara umum bahwa Filsafat adalah suatu tindakan berpikir secara cermat dan hati-hati terhadap suatu gejala-gejala yang terjadi di masyarakat. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika. Kepercayaan adalah menerima begitu saja suatu pendirian atas dasar kewibawaan seseorang, sedangkan filsafat tidak demikian dan harus berdasarkan pada argumentasi rasional. Berdasarkan argumentasi yang rasional, mengartikan bahwa penalaran-penalaran filsafat harus sah secara logika serta dalam pemilihan premis maupun kesimpulan harus selalu terbuka bagi suatu bantahan rasional dalam dialog intersubyektif yang mana kebenaran dapat dan harus ditemukan. Hal ini berarti bahwa filsafat tidak bersifat dogmatika (kaku atau ketiadaan toleransi). Filsafat merefleksi berbagai masalah dan persoalan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam bidang hukum. Filsafat  hukum merupakan bentuk kegiatan berfilsafat yang memusatkan perhatiannya khusus pada gejala hukum. Karena merupakan filsafat, filsafat hukum kemudian merenungkan semua masalah terkait dengan gejala hukum, baik itu masalah fundamental atau masalah dasar yang terkait dengan eksistensi hukum secara teoritikal maupun masalah marginal dalam aspek yang luas secara praktikal.

B.     Dalil Kedua : Terdapat tiga tataran abstraksi refleksi teoretikal atas gejala hukum, yakni ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembangan hukum teoretikal dan pengembanan hukum praktikal.
Komentar :
Pada intinya secara substansial antara filsafat hukum, ilmu hukum, dan teori hukum itu saling berkaitan tetapi juga berbeda. Filsafat hukum memiliki ruang lingkup lebih luas karena di dalam filsafat hukum memuat teori hukum, tujuan hukum, dan manfaat hukum. Sedangkan teori hukum hanya bersifat memberikan penjelasan tentang sebuah fenomena hukum atau fakta hukum. Ruang lingkupnya lebih sempit dan tidak terlalu mendasar. Filsafat hukum memberikan penjelasan tentang hukum yang sangat mendasar dan holistik. Bahwa filsafat hukum berbeda dengan teori hukum, filsafat hukum merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya merefleksi tentang hakekat hukum atau metode dari ilmu hukum atau ajaran metode saja. Sedangkan ilmu hukum memberi penekanan pada substansi (isi) yang bentuknya normatif dari hukum sebagai hasil implementasi dari aspeknya yang teknis prosedural. Jika filsafat hukum berbicara tentang hukum, maka letak fokusnya tidak teletak pada prosedur teknisnya dalam merumuskan hukum atau membentuk suatu norma hukum, melainkan pada isinya yang substantif. Jika filsafat hukum membahas atau mengkritisi segi bentuk dari hukum, maka bentuk disini harus dipahami bahwa apakah secara substantif bentuk itu kondusif untuk menghasilkan hukum sebagaimana seharusnya hukum (hukum positif) dan bukan hanya sekadar mendeskripsikannya secara teknis procedural (hukum acara). Sedangkan ilmu hukum memberikan penekanan pada segi bentuk dari hukum yaitu bentuknya normatif dari hukum. Bentuknya normatif dari hukum sebagai hasil implementasi dari aspeknya yang procedural. Dalam pengembanan hukum teoritikal, ilmu hukum dogmatik yang paling relevan untuk pembentukan hukum dan penemuan hukum. Dimana ilmu hukum dogmatik ini mengarahkan kita pada kegiatan memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku. Sedangkan untuk pengembangan hukum praktikal, teori hukum yang memiliki tugas untuk mempelajari makna dan struktur dari pembentukan hukum dan penemuan hukum. Untuk filsafat hukum, tugasnya adalah merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum, tidak hanya hakikat dan metode dari ilmu hukum tetapi juga mengkritik pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Filsafat hukum bergerak lebih jauh dan merefleksi persoalan keadilan, yangbagi teori hukum merupakan pertanyaan yang tidak relevan. Filasafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritikal dan pengembanan hukum praktikal, hal ini dikarenakan filsafat memiliki sifat yang sangat terbuka.

C.     Dalil Ketiga : Pengembangan hukum praktikal atau penanganan hukum secara nyata dalam kenyataan kehidupan sungguh-sungguh mengenal tiga bentuk : pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Di sini terutama Ilmu Hukum Dogmatika menunjukkan kepentingan praktikalnya secara langsung.
Komentar :
Apabila kita melihat dalam kenyataan yang ada, benarlah apa didalilkan oleh Prof. Dr.D.H.M. Meuwissen bahwa dalam praktik kehidupan, bentuk-bentuk penerapan hukum dapat berupa pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum. Pembentukan hukum adalah penciptaan atau perumusan hukum baru dalam arti umum, yang dapat berupa penambahan atau perubahan aturan-aturan yang sudah berlaku. Selain itu, juga dapat ditimbulkan dari yurisprudensi serta yang berkenaan dengan tindakan yang hanya sekali saja (einmalig) yang dilakukan oleh pihak berwenang atau organ-organ pusat berdasarkan konstitusi. Pembentukan aturan di Indonesia nampak jelas pada fungsi lembaga legislatif pemerintah, di mana DPR bersama-sama dengan Presiden merumuskan serta menetapkan Undang-Undang yang berlaku. Arah dari perumusan ini adalah merumuskan suatu model perilaku yang abstrak yang dimuat dalam ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang untuk kemudian dapat di terapkan di dalam kehidupan konkret masyarakat, serta menjadi acuan pola kehidupan masyarakat, dengan demikian, dalam perumusan undang-undang perlu adanya pola perilaku abstrak yang benar-benar merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat oleh karena keberadaan pola perilaku ini kemudian akan menjadi acuan pola perilaku konkret dari masyarakat. Kenyataan sekarang ini, banyak produk perundang-undangan yang pola perilaku abstrak sebagaimana termuat di dalamnya tidak mampu menjadi acuan dari perilakumasyarakat oleh karena dalam proses perumusannya, apa yang menjadi nilai-nilai dari masyarakat tidak mampu diimplementasikan, dengan demikian menyebabkan aturan tersebut tidak dapat diterapkan bagi masyarakat, dan semestinya tidak diterapkan. Penemuan hukum dapat diartikan sebagai proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual. Berbeda dari pembentukan hukum, alur penemuan hukum adalah dimunculkannya terlebih dahulu hal-hal yang khusus (konkret) namun pada saat bersamaan dapat dikonstatasi (melihat atau menetapkan gejala atau tanda dari suatu keadaan atau peristiwa) dampak keberlakuan secara umum. Penemuan hukum dalam praktik secara umum dapat dilakukan ketika berhadapan dengan norma kabur atau juga norma kosong. Pada norma kabur, praktik penemuan hukum dapat dilakukan dengan cara melakukan penafsiran atau interpretasi. Sedangkan dalam keadaan berhadapan dengan norma kosong, perlu dilakukannya suatu penemuan hukum yang baru. Praktik ini dapat dijumpai contohnya pada lembaga peradilan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa : hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Hal ini tentunya memberikan kewenangan bagi hakim untuk menemukan hukum baru (recht finding) apabila dihadapkan dengan keadaan kekosongan hukum (recht vacuum). Dengan demikian, seorang hakim tentunya harus memiliki pengetahuan serta pemahaman yang baik tentang hukum serta memiliki cita keadilan yang tinggi. Sedangkan terkait dengan bantuan hukum, bahwa bantuan hukum ini merupakan tindakan nyata mendampingi orang-orang yang terlibat dalam kesulitan hukum. Biasanya dilakukan oleh para advokat, biro bantuan hukum, lembaga bantuan hukum yang diselenggarakan oleh mahasiswa fakultas hukum. Bantuan hukum ini lebih mirip dengan pekerjaan social bilamana terkait dengan kejadian-kejadian yang didalamnya tidak berjalannya suatu proses hukum. Di Indonesia, persoalan bantuan hukum ini diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat maupun dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Sifat khas dari filsafat hukum pada bantuan hukum ini adalah terletak pada sifat praktikalnya dan tidak pada struktur teoritikalnya.

D.    Dalil Keempat : Tema terpenting dari filsafat hukum berkaitan dengan hubungan antara hukum dan etika. Ini berarti bahwa diskusi yang sudah berlangsung sangat lama antara para pengikut Aliran Hukum Kodrat dan para pengikut Positivisme hingga kini masih tetap aktual. Hukum dan Etika dua-duanya merumuskan kriteria untuk penilaian terhadap perilaku (tindakan) manusia : namun mereka melakukan hal ini dari sudut titik pandang yang berbeda. Hukum adalah suatu momen dari etika.
Komentar :
Hukum dan etika merupakan tema penting yang dikaji oleh filsafat hukum, dimana dalam Aliran Hukum Kodrat dan pengikut positivisme memiliki pandangan yang berbeda mengenai hukum dan etika. Pengikut Aliran hukum kodrat melihat bahwa hukum dan etika tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, hal ini karena kaidah-kaidah etikal dengan salah satu cara tertentu, relevan bagi isi dan berlakunya hukum positif. Sedangkan pengikut aliran positivisme memisahkan antara hukum dan etika, dimana aliran ini memandang bahwa etika tidak penting dan perhatiannya hanya pada isi dan berlakunya hukum positif. Saya setuju dengan pendapat aliran hukum kodrat, tidak dapat dipisahkannya hukum dengan etika, karena hukum yang tidak dilandasi dengan etika akan menjadikan hukum tersebut tidak memiliki kemanfaatan. Etika merupakan sesuatu yang penting dalam hal baik dan buruk, hukum yang tidak berdasarkan pada etika yang baik tidak akan bermanfaat dalam pengaturan kehidupan masyarakat terutama terhadap perilaku (tindakan) manusia. Berkaitan dengan positivisme hukum, keberlakuan hukum secara normatif semata-mata tergantung pada kaidah-kaidah hukum yang lebih tinggi. Seperti yang dipaparkan Kelsen dalan Stufenbau Theory-nya. Keberlakuan secara faktual berkaitan dengan kenyataan bahwa kaidah-kaidah atau norma tersebut dibuat dan diberlakukan oleh otoritas yang berwenang atau dengan penerimaan psikologis atau sosiologis oleh warga masyarakat. Disinilah peran filsafat dalam meneliti dan menjelaskannya.

E.     Dalil Kelima : Filsafat hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang ”kenyataan” dari hukum. ”Kenyataan hukum” harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari Ide-hukum (cita-hukum). Dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk : aturan hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum), lembaga hukum. Lembaga hukum terpenting adalah Negara. Tetapi tidak hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah ”sistem terbuka” yang didalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Komentar :
Bahwa pengolahan sifat khas dari ide-ide hukum atau cita hukum adalah tugas penting dari filsafat hukum. Dalil dari hukum, seni, ilmu dan agama adalah perwujudan dari suatu asas yang berasal dari Neo-Kantianisme. Dalam bidang hukum, dalil ini dipertahankan oleh Radbruch yang menjabarkan ide hukum dalam tiga aspek yakni kepastian hukum, kegunaan dan keadilan. Namun, karena Radbruch adalah relativis, sehingga menurut pandangannya tidak dapat ditentukan asas yang mana yang harus diutamakan. Karena yang menentukan adalah kehendak pembuat undang-undang dan positivitas dari hukum akhirnya tergantung pada keputusannya. Dalam pandangan Hegel, yang mana ia mencoba mengembangkan kebebasan sebagai landasan dari hukum (dan etika). Hukum dipahami dalam kaitannya dengan kebebasan dan itu sesuatu yang juga bagi filsafat hukum modern tetap penting. Bertolak pada pandangan Radbruch, nilai-nilai hukum bukanlah suatu bidak-bidak yang mudah digeser sesuka hati kita, keberadaan mereka berkaitan satu dengan yang lainnya (antara kepastian, kegunaan dan keadilan hukum). Berkaitan dengan aturan hukum dan keputusan hukum dilihat dari perpektif ini haruslah mengacu nilai-nilai hukum, namun nilai-nilai hukum disini tertutup bagi kesewenangan. Kemudian terkait dengan figur hukum dan lembaga hukum, keduanya berkaitan dengan perangkat-perangkat aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum. Contoh figur hukum adalah hak milik, kontrak, dan ganti rugi. Sedangkan contoh dari lembaga hukum adalah keluarga, perkumpulan, perusahaan, kotamadya, dan negara. Figur-figur hukum ini memiliki sifat yang historikal yang hakiki. Sebagai contoh nyata, mungkin dapat diliat pada notaris jika merupakan lembaga hukum, karena notaris adalah pejabat umum yang memiliki tugas yang in optima forma untuk mewujudkan ide hukum. Perwujudan ide hukum tersebut berupa merealisasikan keinginan para pihak yang akan membuat perjanjian ke dalamsuatu akta yang kemudian akan disepakati oleh para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (asas pacta sunt servanda).
Mutlak perlu diketahui bahwa ada seperangkat aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum yang mengarah pada perwujudan ide ide hukum dalam suatu konstelasi historikal tertentu. Negara adalah lembaga hukum terpenting yang merupakan sebuah lembaga hukum dengan ciri-ciri khusus. Negara melambangkan dan mengkonkretkan struktur kewibawaan ya di dalamnya ada orang-orang yang menjalani kehidupan. Negara dapat memainkan aspek sentral seperti kedaulatan dari negara, yakni kemauan berkuasa dari kewibawaan dari pengambil keputusan. Bahwa negara adalah sumber dari hukum, karena negara menciptakan hukum dan menjalankan penegakan dan pelaksanaannya. Negara juga terikat pada hukum karena negara memiliki tugas untuk mewujudkan ide hukum. Undang-Undang Dasar, parlemen, perundang-undangan, hak-hakasasi, peradilan adalah cerminan dari adanya jaminan dan kebebasan manusia atau disebut dengan demokrasi.  Dari sudut filsafat hukum, teori demokratik sangat dibutuhkan ketika suatu negara berada ditengah-tengah krisis tentang negara dan hukum. Sehingga hubungan imanen antara negara dan kebebasan harus menjadipusat orientasi. Negara tidak boleh dipandang sebagai gejala politik sembarangan.
Meuwissen dalam Dalil Penutup-nya mengemukakanbahwa makna praktikal dari filsafat hukum pada masa kini terletak dalam mutlak diperlukannya pengembangan suatu filsafat baru tentang demokrasi. 

Senin, 07 November 2011

SEKELUMIT TENTANG MEDIASI PENAL SEBAGAI PROSES ADR DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

1.      Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam  istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat  ATA)) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama memperte-mukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).

2.      Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan isti-lah ADR atau ”Alternative Dispute Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

3.      Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang  ada di dalam ma-syarakat (musyawarah keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

4.      Dalam perkembangan wacana teoritik mau-pun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecende-rungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.

5.      Mediasi pidana yang dikembangkan itu ber-tolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut :
a.        Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b.       Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb.
c.        Proses informal (Informal Proceeding - Informalität):
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d.        Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partici-pation - Parteiautonomie/Subjektivie-rung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

6.      Model-model Mediasi Pidana :
Dalam “Explanatory memorandum” dari Rekomendai Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal  sebagai berikut :
a.       "informal mediation"
b.       "Traditional village or tribal moots"
c.        "victim-offender mediation"
d.       ”Reparation negotiation programmes"
e.        "Community panels or courts"
f.         "Family and community group conferen-ces",

Ad (a) : Model "informal mediation"
*      Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice person-nel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk mela-kukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penun-tutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim.
*      Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

Ad (b) : Model "Traditional village or tribal moots" Menurut model ini, seluruh masyarakat ber-temu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. 
-       Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/ pedalaman. 
-       Model ini lebih memilih keuntungan bagi  masyarakat luas.
-       Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Pro-gram mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

Ad (c) : Model "victim-offender mediation"
-       Mediasi antara korban dan pelaku meru-pakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. 
-       Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal,  mediator independen, atau kombi-nasi.
-       Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijak-sanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.
-       Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.

Ad (d) : Model ”Reparation negotiation programmes"
-       Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. 
-       Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel.
-       Dalam model  ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.

Ad (e) : Model "Community panels or courts"
-       Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penun-tutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan infor-mal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

Ad (f) : Model "Family and community group conferences"
-       Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan parti-sipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. 
-       Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang kompre-hensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

CATATAN KECIL HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

1.      Perjanjian yang pernah diadakan di masa lampau di Indonesia oleh VOC dengan raja-raja/kepala2 negeri bumiputera tidak termasuk dalam perjanjian internasional dalam arti yang sedang diperbincangkan dalam konteks ini dan lebih merupakan perjanjian internasional semu (quasi international treaties) serta subjek-subjek yang membuat perjanjian itu tidak atau belum dapat dianggap sebagai subjek HI (Subjek HI meliputi negara, organisasi internasional, takhta suci vatikan, pemberontak, individu). Di samping itu ada keberatan lain yang berdasarkan pertimbangan politik yang timbul terutama dalam decade terakhir bahwa perjanjian2 yang demikian secara politik merupakan perjanjian yang tidak seimbang (unequal treaties) meskipun secara formal perjanjian2 tersebut mungkin sah secara hukum.
2.      Perbedaan perjanjian bilateral dan multilateral adalah :
Berdasarkan jumlah pesertanya, PI dapat dibedakan atas Perjanjian Bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian Bilateral adalah perjanjian internasional yang jumlah pesertanya atau pihaknya terdiri atas dua pihak. Sedangkan perjanjian multilateral adalah perjanjian internasional yang terdiri atas lebih dari dua pihak. Hal penting yang membedakan keduanya adalah :
·         Dalam pensyaratan (reservasi). Pensyaratan adalah bahwa suatu negara/peserta perjanjian mengajukan suatu syarat tertentu sebelum menyatakan kesediannya untuk terikat dalam perjanjian itu. Misalnya, suatu negara menyatakan bersedia terikat dalam perjanjian sepanjang suatu ketentuan tertentu dari perjanjian tersebut tidak diberlakukan terhadapnya. Dalam Perjanjian Bilateral jika suatu pihak mengajukan pensyaratan namun tidak diterima oleh pihak lainnya maka otomatis tidak akan lahir suatu perjanjian. Sebaliknya jika pensyaratan itu diterima oleh pihak lainnya maka dengan sendirinya telah lahir suatu perjanjian karena penerimaan itu sama artinya kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat.
Namun, dalam perjanjian multilateral, jika suatu pihak mengajukan pensyaratan dan hal itu diterima oleh peserta lainnya maka masih mungkin lahir suatu perjanjian yaitu perjanjian pensyaratan sepanjang pensyaratan itu tidak dilarang. Dengan kata lain, suatu perjanjian multilateral tetap dapat disahkan sebagai perjanjian namun satu/lebih ketentuannya tidak berlaku atau mengikat terhadap para pihak yang mengajukan pensyaratan, sedangkan pihak-pihak yang tidak melakukan pensyaratan seluruh ketentuan dalam perjanjian itu berlaku atau mengikat.
·         Dalam kaitannya dengan sifat/kaidah hukum yang dilahirkan oleh perjanjian tersebut. Perjanjian bilateral melahirkan kaidah hukum yang mengikat hanya kedua belah pihak saja yang membuat perjanjian itu. Sebab perjanjian bilateral biasanya memang mengatur kepentingan2 yg sangat khusus antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan pihak ketiga tidak turut menjadi pihak dalam perjanjian itu. Oleh karena itulah, perjanjian bilateral juga disebut perjanjian tertutup (closed treaty). Ada juga yang menyebutnya treaty contract karena perjanjian itu hanya melahirkan kaidah hukum bagi pihak2 yang membuatnya.
Sedangkan perjanjian multilateral, sifat kaidah hukumnya dilahirkan oleh perjanjian itu lazimnya bersifat umum, meskipun dapat bersifat khusus. Hal itu bergantung pada corak perjanjian itu, yaitu apakah tertutup atau terbuka. Misalnya perjanjian multilateral yang diadakan oleh negara2 asia tenggara dalam kerangka ASEAN. Perjanjian ini bersifat khusus karena coraknya tertutup. Sebab ia menutup kemungkinan bagi negara di luar asia tenggara untuk ikut menjadi pihak didalamnya. Jadi dilihat dari persfektif coraknya perjanjian multilateral dimungkinkan bersifat tertutup sebagaimana halnya dengan perjanjian bilateral. Sebaliknya perjanjian bilateral tidak mungkin bercorak terbuka melainkan senatiasa tertutup.
Sementara itu PI yang bercorak terbuka dan bersifat umum dapat diketahui dari substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu. Maksudnya substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu tidak semata-mata bersangkut paut dengan kepentingan negara2 yang menjadi pihak dari perjanjian itu tetapi juga kepentingan negara ketiga sehingga bagi negara ketiga ini dimungkinkan untuk turut serta menjadi pihak sekalipun ia tidak sejak awal merupakan peserta perjanjian itu. Dengan kata lain perjanjian semacam ini melahirkan kaidah hukum yang bersifat umum atau sering disebut law making treaty.

3.      Perbedaan aksesi dan adhesi dalam PI :
- Aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu klausula, sedangkan adhesi dapat berupa penerimaan hanya sebagian dari perjanjian.
- Aksesi meliputi keikutsertaan dalam perjanjian dengan status yang sama dengan penandatangan-penandatangan asli, sedangkan adhesi semata-mata menunjuk pada persetujuan atas prinsip-prinsip perjanjian.
- Aksesi dalam PI bahwa suatu negara tidak pernah ikut perundingan tetapi ingin ikut dalam perjanjian maka negara tersebut ikut menandatangani dan tunduk pada seluruh isi perjanjian. Sedangkan Adhesi, suatu negara ikut sejak awal proses/tahap pembentukan PI tetapi tidak menyetujui semua pasal dalam PI, hanya tunduk pada beberapa pasal saja yang disetujuinya (ada reservasi).
  

4.      Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt :
asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani kewajiban kepada pihak-pihak yang tidak terikat kepada perjanjian itu.
Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.

- Cara2 negara terikat dlm PI :
      1. penandatanganan (signature)
      2. pertukaran instrument yang melahirkan suatu PI
      3. pengesahan atau ratifikasi
      4. penerimaan (akseptasi)
      5. persetujuan
      6. penambahan (aksesi)
      7. cara lain yg disetujui oleh para pihak

- surat kuasa penuh : pasal 7 ayat 2 konvensi wina 1969 sejumlah pejabat negara karena kedudukan dan jabatannya dianggapselalu bertindak atas nama negaranya sehingga tidak memerlukan surat kuasa penuh, yakni:
      1. kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri.
      2. kepala misi diplomatic, khusus bagi pembuatan dan pengikatan diri dalam PI yang dibuat negaranya dengan negara tempat ia ditempatkan atau diakreditasikan.
      3. wakil-wakil yang ditempatkan atau diakreditasikan oleh negaranya di lembaga-lembaga internasional, khusus dalam hubungannya dengan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat negaranya dengan organisasi internasional tempat ia diakreditasikan.

- PI yg perlu diratifikasi dgn UU di Indonesia menyangkut :
      1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
      2. perubahan wilayah/penetapan batas wilayah RI
      3. kedaulatan/hak berdaulat negara
      4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
      5. pembentukan kaidah hukum baru
      6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri

Tahapan pembentukan PI :
1. penunjukan wakil masing2 pihak yg diberi tugas dan wewenang utk mengadakan perundingan
2. menyerahkan surat kuasa penuh
3. perundingan (membahas dan merumuskan pasal2 perjanjian)
4. penerimaan naskah perjanjian
5. pengesahan (oleh peserta perjanjian)