Senin, 07 November 2011

BOLEHKAH LEMBAGA NEGARA MENGGUGAT LEMBAGA NEGARA LAIN DALAM HAL KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) ??

Dalam pasal 1 angka 5 UU No. 9 tahun 2004 disebutkan bahwa gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan. Dalam pasal 1 angka 6 UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan putusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Pasal 53 ayat (1) UU no. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar putusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pasal 1 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2004,
Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang/badan hukum perdata dengan badan/pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut di atasdapat dilihat tentang hal-hal sebagai berikut :
1.      Hanya orang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
2.      Mengenai badan atau pejabat TUN adalah :
a.       Selalu berkedudukan sebagai pihak tergugat.
b.      Tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan TUN lainnya.
c.       Tidak dapat menggugat orang atau badan hukum perdata bilamana yang bersangkutan tidak mengindahkan Keputusan Tata Usaha Negara, ke pengadilan TUN.
d.      Tidak diperkenankan mengajukan gugatan balik (rekonvensi).
e.       Selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan Keputusan yang dikeluarkan terhadap tuduhan penggugat.
3.      Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis. Bentuk tertulis sangatlah penting karena gugatan tersebut akan digunakan sebagai pegangan oleh pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Bagi penggugat yang buta aksara dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat (secara lisan) kepada panitera pengadilan ini yang membantunya merumuskan gugatan tersebut dalam bentuk tertulis.
4.      Tuntutan yang dapat diajukan oleh penggugat adalah terbatas karena :
a.       Tuntutan pokok hanya satu macam saja, yaitu berupa tuntutan agar Keputusan TUN yang telah merugikan kepentingannya penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
b.      Tuntutan tambahan yang diperbolehkan yang diperbolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi, dan khusus pada sengketa kepegawaian diperbolehkan tuntutan tambahan lainnya berupa tuntutan rehabilitasi (pemulihan kepada keadaan semula).

Dalam asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, terdapat asas “Mengutamakan Perlindungan Kepada Rakyat Pencari Keadilan”. Rakyat pencari keadilan maksudnya adalah setiap warga negara Indonesia atau bukan, dan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Asas ini sesuai dengan maksud diadakannya Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam Penjelasan Umum angka 1 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan sebagai akibat Keputusan tata Usaha Negara. Adanya asas ini dapat kita lihat dari keadaan sebagai berikut :
1.    Ditentukannya kedudukan yang tetap, tidak dapat dirubah antara penggugat yaitu orang atau badan hukum perdata atau rakyat pencari keadilan dengan tergugat yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara, artinya penggugat tidak dapat nantinya menjadi tergugat dan demikian sebaliknya (pasal 1 angka 6 dan pasal 53 angka 1 UU no. 5 Tahun 1986). Oleh karena adalah berbeda dengan Hukum acara perdata, dimana dalam HAPTUN tidak mengenal adanya “rekonvensi” atau gugatan balik atau gugatan pembalasan. Tergugat tidak diperbolehkan menggunakan kesempatan pada waktu pemeriksaan mengajukan gugatan balik terhadap penggugat karena adanya rekonvensi ini akan menyebabkan kedudukan tergugat berubah menjadi penggugat dan penggugat berubah menjadi tergugat. Jadi dalam HAPTUN hanya dikenal konvensi, yaitu tuntutan penggugat dalam gugatan.
Sehingga dalam hal suatu lembaga Negara ingin menggugat lembaga Negara lainnya dalam hal KTUN secara yuridis tidak diperbolehkan menurut UU No 4 Tahun 2004.
Namun jika terjadi sengketa Tata Usaha Negara intern lembaga Negara, yakni sengketa antara administrasi Negara yang terjadi di dalam departemen/instansi maupun sengketa yang terjadi antardepartemen/instansi (sengketa hukum antar wewenang), maka :
1.      UU-PTUN tidak membuka peluang bagi sengketa intern
2.      Sengketa antarlembaga Negara yang kewenangannya diatur dalam UUD, diselesaikan oleh MK.
3.      Sengketa kewenangan lainnya tidak diatur lembaga mana yang menyelesaikan.
Jadi, kesimpulannya adalah secara yuridis, menurut UU No. 9 Tahun 2004 suatu lembaga Negara atau badan hukum public tidak dapat menggugat lembaga negara lainnya dalam hal KTUN yang dikeluarkan, karena dalam UU ini tegas dinyatakan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata (pasal 1 angka 6 UU No. 4 Tahun 2004) dan diatur pula dalam pasal 53 UU No. 4 Tahun 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar