Senin, 07 November 2011

CATATAN KECIL HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

1.      Perjanjian yang pernah diadakan di masa lampau di Indonesia oleh VOC dengan raja-raja/kepala2 negeri bumiputera tidak termasuk dalam perjanjian internasional dalam arti yang sedang diperbincangkan dalam konteks ini dan lebih merupakan perjanjian internasional semu (quasi international treaties) serta subjek-subjek yang membuat perjanjian itu tidak atau belum dapat dianggap sebagai subjek HI (Subjek HI meliputi negara, organisasi internasional, takhta suci vatikan, pemberontak, individu). Di samping itu ada keberatan lain yang berdasarkan pertimbangan politik yang timbul terutama dalam decade terakhir bahwa perjanjian2 yang demikian secara politik merupakan perjanjian yang tidak seimbang (unequal treaties) meskipun secara formal perjanjian2 tersebut mungkin sah secara hukum.
2.      Perbedaan perjanjian bilateral dan multilateral adalah :
Berdasarkan jumlah pesertanya, PI dapat dibedakan atas Perjanjian Bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian Bilateral adalah perjanjian internasional yang jumlah pesertanya atau pihaknya terdiri atas dua pihak. Sedangkan perjanjian multilateral adalah perjanjian internasional yang terdiri atas lebih dari dua pihak. Hal penting yang membedakan keduanya adalah :
·         Dalam pensyaratan (reservasi). Pensyaratan adalah bahwa suatu negara/peserta perjanjian mengajukan suatu syarat tertentu sebelum menyatakan kesediannya untuk terikat dalam perjanjian itu. Misalnya, suatu negara menyatakan bersedia terikat dalam perjanjian sepanjang suatu ketentuan tertentu dari perjanjian tersebut tidak diberlakukan terhadapnya. Dalam Perjanjian Bilateral jika suatu pihak mengajukan pensyaratan namun tidak diterima oleh pihak lainnya maka otomatis tidak akan lahir suatu perjanjian. Sebaliknya jika pensyaratan itu diterima oleh pihak lainnya maka dengan sendirinya telah lahir suatu perjanjian karena penerimaan itu sama artinya kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat.
Namun, dalam perjanjian multilateral, jika suatu pihak mengajukan pensyaratan dan hal itu diterima oleh peserta lainnya maka masih mungkin lahir suatu perjanjian yaitu perjanjian pensyaratan sepanjang pensyaratan itu tidak dilarang. Dengan kata lain, suatu perjanjian multilateral tetap dapat disahkan sebagai perjanjian namun satu/lebih ketentuannya tidak berlaku atau mengikat terhadap para pihak yang mengajukan pensyaratan, sedangkan pihak-pihak yang tidak melakukan pensyaratan seluruh ketentuan dalam perjanjian itu berlaku atau mengikat.
·         Dalam kaitannya dengan sifat/kaidah hukum yang dilahirkan oleh perjanjian tersebut. Perjanjian bilateral melahirkan kaidah hukum yang mengikat hanya kedua belah pihak saja yang membuat perjanjian itu. Sebab perjanjian bilateral biasanya memang mengatur kepentingan2 yg sangat khusus antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan pihak ketiga tidak turut menjadi pihak dalam perjanjian itu. Oleh karena itulah, perjanjian bilateral juga disebut perjanjian tertutup (closed treaty). Ada juga yang menyebutnya treaty contract karena perjanjian itu hanya melahirkan kaidah hukum bagi pihak2 yang membuatnya.
Sedangkan perjanjian multilateral, sifat kaidah hukumnya dilahirkan oleh perjanjian itu lazimnya bersifat umum, meskipun dapat bersifat khusus. Hal itu bergantung pada corak perjanjian itu, yaitu apakah tertutup atau terbuka. Misalnya perjanjian multilateral yang diadakan oleh negara2 asia tenggara dalam kerangka ASEAN. Perjanjian ini bersifat khusus karena coraknya tertutup. Sebab ia menutup kemungkinan bagi negara di luar asia tenggara untuk ikut menjadi pihak didalamnya. Jadi dilihat dari persfektif coraknya perjanjian multilateral dimungkinkan bersifat tertutup sebagaimana halnya dengan perjanjian bilateral. Sebaliknya perjanjian bilateral tidak mungkin bercorak terbuka melainkan senatiasa tertutup.
Sementara itu PI yang bercorak terbuka dan bersifat umum dapat diketahui dari substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu. Maksudnya substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu tidak semata-mata bersangkut paut dengan kepentingan negara2 yang menjadi pihak dari perjanjian itu tetapi juga kepentingan negara ketiga sehingga bagi negara ketiga ini dimungkinkan untuk turut serta menjadi pihak sekalipun ia tidak sejak awal merupakan peserta perjanjian itu. Dengan kata lain perjanjian semacam ini melahirkan kaidah hukum yang bersifat umum atau sering disebut law making treaty.

3.      Perbedaan aksesi dan adhesi dalam PI :
- Aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu klausula, sedangkan adhesi dapat berupa penerimaan hanya sebagian dari perjanjian.
- Aksesi meliputi keikutsertaan dalam perjanjian dengan status yang sama dengan penandatangan-penandatangan asli, sedangkan adhesi semata-mata menunjuk pada persetujuan atas prinsip-prinsip perjanjian.
- Aksesi dalam PI bahwa suatu negara tidak pernah ikut perundingan tetapi ingin ikut dalam perjanjian maka negara tersebut ikut menandatangani dan tunduk pada seluruh isi perjanjian. Sedangkan Adhesi, suatu negara ikut sejak awal proses/tahap pembentukan PI tetapi tidak menyetujui semua pasal dalam PI, hanya tunduk pada beberapa pasal saja yang disetujuinya (ada reservasi).
  

4.      Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt :
asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani kewajiban kepada pihak-pihak yang tidak terikat kepada perjanjian itu.
Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.

- Cara2 negara terikat dlm PI :
      1. penandatanganan (signature)
      2. pertukaran instrument yang melahirkan suatu PI
      3. pengesahan atau ratifikasi
      4. penerimaan (akseptasi)
      5. persetujuan
      6. penambahan (aksesi)
      7. cara lain yg disetujui oleh para pihak

- surat kuasa penuh : pasal 7 ayat 2 konvensi wina 1969 sejumlah pejabat negara karena kedudukan dan jabatannya dianggapselalu bertindak atas nama negaranya sehingga tidak memerlukan surat kuasa penuh, yakni:
      1. kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri.
      2. kepala misi diplomatic, khusus bagi pembuatan dan pengikatan diri dalam PI yang dibuat negaranya dengan negara tempat ia ditempatkan atau diakreditasikan.
      3. wakil-wakil yang ditempatkan atau diakreditasikan oleh negaranya di lembaga-lembaga internasional, khusus dalam hubungannya dengan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat negaranya dengan organisasi internasional tempat ia diakreditasikan.

- PI yg perlu diratifikasi dgn UU di Indonesia menyangkut :
      1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
      2. perubahan wilayah/penetapan batas wilayah RI
      3. kedaulatan/hak berdaulat negara
      4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
      5. pembentukan kaidah hukum baru
      6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri

Tahapan pembentukan PI :
1. penunjukan wakil masing2 pihak yg diberi tugas dan wewenang utk mengadakan perundingan
2. menyerahkan surat kuasa penuh
3. perundingan (membahas dan merumuskan pasal2 perjanjian)
4. penerimaan naskah perjanjian
5. pengesahan (oleh peserta perjanjian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar