LIMA
DALIL MEUWISSEN TENTANG FILSAFAT HUKUM
A. Dalil Pertama : Filsafat Hukum adalah filsafat. Karena itu, ia merenungkan semua
masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum.
Komentar :
Filsafat adalah suatu tindakan berpikir secara cermat dan
hati-hati terhadap suatu gejala-gejala yang terjadi di masyarakat. Mempelajari
filsafat sama halnya dengan mencari hakikat atau landasan dari gejala-gejala
yang lebih dalam serta ciri khasnya. Yang terpenting adalah setiap dalil
filsafat harus dibuat dan dipahami secara rasional (terargumentasikan). Bahwa
pada dalil pertama ini terdapat 5 (lima) unsur filsafat yang merenungkan semua
masalah yang fundamental dan marginal yang berkaitan dengan gejala hukum, yakni
: Pertama, Filsafat merefleksi tentang landasan dari kenyataan.
Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa
puas jika menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berpikir itu sendiri.
Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indriawi, fisikal,
psikhikal atau kerohanian saja. Filsafat merupakan kegiatan berpikir, yang
artinya dalam suatu hubungan dialogikal dengan yang lain, filsafat berupaya
merumuskan argumen-argumen untuk memperoleh pengkajian. Filsafat menurut
hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Hingga pada suatu simpulan bahwa
filsafat bukanlah kepercayaan atau
dogmatika. Kedua, berkaitan dengan kepercayaan. Kepercayaan
merupakan suatu bentuk kepastian yang langsung. Bahwa kebenaran suatu pendirian
dapat diterima begitu saja tanpa argumentasi yang berarti jika berdasarkan atas
kepercayaan. Umumnya, orang-orang menerima suatu pendirian sebagai benar atas
dasar kewibawaan seseorang yang lainnya. Hal ini dapat berarti bahwa orang
mempercayai argumentasi rasional dari seorang ahli atau pakar yang memiliki
kewibawaan (otoritas), yang artinya argumentasi tersebut dapat diterima begitu
saja, karena mereka mempercayai bahwa seorang ahli atau pakar adalah
orang-orang yang mempunyai otoritas untuk mengemukakan suatu argumentasi karena
bidang keahliannya memang telah diakui sebagai ahli atau pakar. Filsafat akan
bersifat dogmatikal jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara
kaku berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh. Filsafat dogmatik
secara praktikal akan menyebabkan kekakuan dan akan mengganggu keterbukaan
hakiki dari komunikasi yang manusiawi. Ketiga, Filsafat harus
memenuhi syarat “rasionalitas” yang artinya bahwa penalaran-penalaran
kefilsafatan harus sah secara logikal, yakni memenuhi aturan-aturan yang
ditetapkan oleh logika serta pemilihan premis-premis dan rasionalitas ini
berkaitan dengan formulasi kesimpulan harus mempertahankan suatu “struktur
terbuka”. Struktur terbuka di sini berarti bahwa selalu terbuka bagi suatu
bantahan-bantahan rasional dalam dialog yang suasana di dalamnya, suatu
kebenaran dapat dan harus ditemukan. Namun, titik beratnya adalah pada hubungan
yang erat antara rasio dan emosi. Perasaan dan rasio tidak boleh
dipertentangkan. Filsafat yang rasional tidak boleh mengabaikan emosionalitas
karena emosinalitas memiliki logikanya sendiri dan tidak diragukan memiliki
momen-momen kognitif. Bahwa hubungan antara rasio dan perasaan ini merupakan
suatu kefilsafatan yang terbuka dimana harus dipikirkan bagaimana cara saling
berhubungan serta bentuk realisasi hubungan ini. Keempat, bahwa
filsafat merupakan refleksi sistematikal terhadap landasan dari kenyataan.
Dalam memahami kenyataan, filsafat mencoba menelusuri asas-asas yang menjadi
landasan dari kenyataan itu. Terdapat banyak aliran filsafat (pluriformitas),
dimana pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan dalam suatu periode dan periode
lainnya tidaklah sama apa yang menjadi permasalahannya. Indikatornya adalah
pemikiran manusia sesuai dengan waktu dan tempatnya. Sehingga pada hakikatnya,
filsafat bersifat historikal, artinya filsafat yang satu (dari periode
tertentu) tidak lebih berharga dari filsafat periode lainnya. Setiap filsuf
memiliki pretensi bahwa ia telah merumuskan suatu keyakinan yang bagi orang
lain juga meyakinkan (berkaitan dengan kepercayaan terhadap ahli/pakar)
sehingga juga harus diterima oleh orang lain. Historitas atau sejarah filsafat
adalah esensial untuk filsafat, bahwa filsafat tanpa sejarah filsafat tidak
dapat dipertanggungjawabkan dan juga arogan. Oleh karena itu tidak ada filsuf
besar yang mengabaikan studi sejarah filsafat secara mendasar. Kelima,
bahwa filsafat merefleksi berbagai masalah dan persoalan. Melihat kembali pada
sejarah filsafat bahwa telah mencapai
beberapa cabang filsafat yang telah menjadi spesialisasi mandiri, seperti
metafisika, teori pengetahuan epistelologi, logika, etika, estetika. Cabang
filsafat lainnya adalah filsafat ilmu dan filsafat hukum. Namun, meskipun telah
mandiri, pengembanan suatu bagian dari filsafat tanpa melibatkan keterikatannya
pada keseluruhan akan menyebabkan kesepihakan dan kecenderungan yang
berlebihan. Pada, filsafat hukum adalah bentu dari filsafat yang memusatkan
perhatiannya pada gejala-gejala hukum, namun pemikiran filsafat hukum telah
berlangsung dalam kerangka suatu orientasi kefilsafatan umum.
v
Sehingga,
dari 5 (unsur) dalam Dalil Pertama ini, dapat diberikan analisa
secara umum bahwa Filsafat adalah suatu tindakan berpikir secara cermat dan
hati-hati terhadap suatu gejala-gejala yang terjadi di masyarakat. Filsafat
bukanlah kepercayaan atau dogmatika. Kepercayaan adalah menerima begitu saja
suatu pendirian atas dasar kewibawaan seseorang, sedangkan filsafat tidak
demikian dan harus berdasarkan pada argumentasi rasional. Berdasarkan
argumentasi yang rasional, mengartikan bahwa penalaran-penalaran filsafat harus
sah secara logika serta dalam pemilihan premis maupun kesimpulan harus selalu
terbuka bagi suatu bantahan rasional dalam dialog intersubyektif yang mana
kebenaran dapat dan harus ditemukan. Hal ini berarti bahwa filsafat tidak
bersifat dogmatika (kaku atau ketiadaan toleransi). Filsafat merefleksi
berbagai masalah dan persoalan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam
bidang hukum. Filsafat hukum merupakan
bentuk kegiatan berfilsafat yang memusatkan perhatiannya khusus pada gejala
hukum. Karena merupakan filsafat, filsafat hukum kemudian merenungkan semua
masalah terkait dengan gejala hukum, baik itu masalah fundamental atau masalah
dasar yang terkait dengan eksistensi hukum secara teoritikal maupun masalah
marginal dalam aspek yang luas secara praktikal.
B. Dalil Kedua : Terdapat tiga tataran abstraksi refleksi teoretikal atas gejala hukum,
yakni ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada
tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembangan hukum teoretikal dan
pengembanan hukum praktikal.
Komentar :
Pada intinya secara substansial antara filsafat hukum, ilmu
hukum, dan teori hukum itu saling berkaitan tetapi juga berbeda. Filsafat hukum
memiliki ruang lingkup lebih luas karena di dalam filsafat hukum memuat teori
hukum, tujuan hukum, dan manfaat hukum. Sedangkan teori hukum hanya bersifat
memberikan penjelasan tentang sebuah fenomena hukum atau fakta hukum. Ruang
lingkupnya lebih sempit dan tidak terlalu mendasar. Filsafat hukum memberikan
penjelasan tentang hukum yang sangat mendasar dan holistik. Bahwa filsafat
hukum berbeda dengan teori hukum, filsafat hukum merefleksi semua masalah
fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya merefleksi tentang
hakekat hukum atau metode dari ilmu hukum atau ajaran metode saja. Sedangkan
ilmu hukum memberi penekanan pada substansi (isi) yang bentuknya normatif dari
hukum sebagai hasil implementasi dari aspeknya yang teknis prosedural. Jika
filsafat hukum berbicara tentang hukum, maka letak fokusnya tidak teletak pada
prosedur teknisnya dalam merumuskan hukum atau membentuk suatu norma hukum,
melainkan pada isinya yang substantif. Jika filsafat hukum membahas atau
mengkritisi segi bentuk dari hukum, maka bentuk disini harus dipahami bahwa apakah
secara substantif bentuk itu kondusif untuk menghasilkan hukum sebagaimana
seharusnya hukum (hukum positif) dan bukan hanya sekadar mendeskripsikannya
secara teknis procedural (hukum acara). Sedangkan ilmu hukum memberikan
penekanan pada segi bentuk dari hukum yaitu bentuknya normatif dari hukum.
Bentuknya normatif dari hukum sebagai hasil implementasi dari aspeknya yang
procedural. Dalam pengembanan hukum teoritikal, ilmu hukum dogmatik yang paling
relevan untuk pembentukan hukum dan penemuan hukum. Dimana ilmu hukum dogmatik
ini mengarahkan kita pada kegiatan memaparkan, menganalisis, mensistematisasi
dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku. Sedangkan untuk pengembangan
hukum praktikal, teori hukum yang memiliki tugas untuk mempelajari makna dan
struktur dari pembentukan hukum dan penemuan hukum. Untuk filsafat hukum,
tugasnya adalah merefleksi semua masalah fundamental yang berkaitan dengan
hukum, tidak hanya hakikat dan metode dari ilmu hukum tetapi juga mengkritik
pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum. Filsafat hukum bergerak
lebih jauh dan merefleksi persoalan keadilan, yangbagi teori hukum merupakan
pertanyaan yang tidak relevan. Filasafat hukum berada pada tataran tertinggi
dan meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritikal dan pengembanan hukum
praktikal, hal ini dikarenakan filsafat memiliki sifat yang sangat terbuka.
C. Dalil Ketiga : Pengembangan hukum praktikal atau penanganan hukum secara nyata dalam
kenyataan kehidupan sungguh-sungguh mengenal tiga bentuk : pembentukan hukum,
penemuan hukum, dan bantuan hukum. Di sini terutama Ilmu Hukum Dogmatika
menunjukkan kepentingan praktikalnya secara langsung.
Komentar :
Apabila kita melihat dalam kenyataan yang ada, benarlah apa
didalilkan oleh Prof. Dr.D.H.M. Meuwissen bahwa dalam praktik kehidupan,
bentuk-bentuk penerapan hukum dapat berupa pembentukan hukum, penemuan hukum,
dan bantuan hukum. Pembentukan hukum adalah penciptaan atau perumusan hukum
baru dalam arti umum, yang dapat berupa penambahan atau perubahan aturan-aturan
yang sudah berlaku. Selain itu, juga dapat ditimbulkan dari yurisprudensi serta
yang berkenaan dengan tindakan yang hanya sekali saja (einmalig) yang
dilakukan oleh pihak berwenang atau organ-organ pusat berdasarkan konstitusi.
Pembentukan aturan di Indonesia nampak jelas pada fungsi lembaga legislatif
pemerintah, di mana DPR bersama-sama dengan Presiden merumuskan serta
menetapkan Undang-Undang yang berlaku. Arah dari perumusan ini adalah
merumuskan suatu model perilaku yang abstrak yang dimuat dalam ketentuan-ketentuan
di dalam Undang-Undang untuk kemudian dapat di terapkan di dalam kehidupan
konkret masyarakat, serta menjadi acuan pola kehidupan masyarakat, dengan
demikian, dalam perumusan undang-undang perlu adanya pola perilaku abstrak yang
benar-benar merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat
oleh karena keberadaan pola perilaku ini kemudian akan menjadi acuan pola
perilaku konkret dari masyarakat. Kenyataan sekarang ini, banyak produk
perundang-undangan yang pola perilaku abstrak sebagaimana termuat di dalamnya
tidak mampu menjadi acuan dari perilakumasyarakat oleh karena dalam proses
perumusannya, apa yang menjadi nilai-nilai dari masyarakat tidak mampu
diimplementasikan, dengan demikian menyebabkan aturan tersebut tidak dapat diterapkan
bagi masyarakat, dan semestinya tidak diterapkan. Penemuan hukum dapat
diartikan sebagai proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret yang
secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual. Berbeda
dari pembentukan hukum, alur penemuan hukum adalah dimunculkannya terlebih
dahulu hal-hal yang khusus (konkret) namun pada saat bersamaan dapat
dikonstatasi (melihat atau menetapkan gejala atau tanda dari suatu keadaan atau
peristiwa) dampak keberlakuan secara umum. Penemuan hukum dalam praktik secara
umum dapat dilakukan ketika berhadapan dengan norma kabur atau juga norma
kosong. Pada norma kabur, praktik penemuan hukum dapat dilakukan dengan cara
melakukan penafsiran atau interpretasi. Sedangkan dalam keadaan berhadapan dengan
norma kosong, perlu dilakukannya suatu penemuan hukum yang baru. Praktik ini
dapat dijumpai contohnya pada lembaga peradilan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa : hakim tidak boleh
menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. Hal ini
tentunya memberikan kewenangan bagi hakim untuk menemukan hukum baru (recht
finding) apabila dihadapkan dengan keadaan kekosongan hukum (recht
vacuum). Dengan demikian, seorang hakim tentunya harus memiliki pengetahuan
serta pemahaman yang baik tentang hukum serta memiliki cita keadilan yang
tinggi. Sedangkan terkait dengan bantuan hukum, bahwa bantuan hukum ini
merupakan tindakan nyata mendampingi orang-orang yang terlibat dalam kesulitan
hukum. Biasanya dilakukan oleh para advokat, biro bantuan hukum, lembaga
bantuan hukum yang diselenggarakan oleh mahasiswa fakultas hukum. Bantuan hukum
ini lebih mirip dengan pekerjaan social bilamana terkait dengan
kejadian-kejadian yang didalamnya tidak berjalannya suatu proses hukum. Di
Indonesia, persoalan bantuan hukum ini diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat maupun dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Sifat
khas dari filsafat hukum pada bantuan hukum ini adalah terletak pada sifat praktikalnya
dan tidak pada struktur teoritikalnya.
D. Dalil Keempat : Tema terpenting dari filsafat hukum berkaitan dengan hubungan antara
hukum dan etika. Ini berarti bahwa diskusi yang sudah berlangsung sangat lama
antara para pengikut Aliran Hukum Kodrat dan para pengikut Positivisme hingga
kini masih tetap aktual. Hukum dan Etika dua-duanya merumuskan kriteria untuk
penilaian terhadap perilaku (tindakan) manusia : namun mereka melakukan hal ini
dari sudut titik pandang yang berbeda. Hukum adalah suatu momen dari etika.
Komentar :
Hukum dan etika merupakan tema penting yang dikaji oleh
filsafat hukum, dimana dalam Aliran Hukum Kodrat dan pengikut positivisme
memiliki pandangan yang berbeda mengenai hukum dan etika. Pengikut Aliran hukum
kodrat melihat bahwa hukum dan etika tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya, hal ini karena kaidah-kaidah etikal dengan salah satu cara tertentu,
relevan bagi isi dan berlakunya hukum positif. Sedangkan pengikut aliran
positivisme memisahkan antara hukum dan etika, dimana aliran ini memandang
bahwa etika tidak penting dan perhatiannya hanya pada isi dan berlakunya hukum
positif. Saya setuju dengan pendapat aliran hukum kodrat, tidak dapat
dipisahkannya hukum dengan etika, karena hukum yang tidak dilandasi dengan etika
akan menjadikan hukum tersebut tidak memiliki kemanfaatan. Etika merupakan
sesuatu yang penting dalam hal baik dan buruk, hukum yang tidak berdasarkan
pada etika yang baik tidak akan bermanfaat dalam pengaturan kehidupan
masyarakat terutama terhadap perilaku (tindakan) manusia. Berkaitan dengan positivisme hukum,
keberlakuan hukum secara normatif semata-mata tergantung pada kaidah-kaidah
hukum yang lebih tinggi. Seperti yang dipaparkan Kelsen dalan Stufenbau
Theory-nya. Keberlakuan secara faktual berkaitan dengan kenyataan bahwa
kaidah-kaidah atau norma tersebut dibuat dan diberlakukan oleh otoritas yang
berwenang atau dengan penerimaan psikologis atau sosiologis oleh warga
masyarakat. Disinilah peran filsafat dalam meneliti dan menjelaskannya.
E. Dalil Kelima : Filsafat hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang ”kenyataan”
dari hukum. ”Kenyataan hukum” harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan)
dari Ide-hukum (cita-hukum). Dalam hukum positif kita selalu bertemu dengan
empat bentuk : aturan hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum),
lembaga hukum. Lembaga hukum terpenting adalah Negara. Tetapi tidak hanya
kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara sistematikal.
Filsafat hukum adalah sebuah ”sistem terbuka” yang didalamnya semua tema saling
berkaitan satu dengan yang lainnya.
Komentar :
Bahwa pengolahan sifat khas dari ide-ide hukum atau cita
hukum adalah tugas penting dari filsafat hukum. Dalil dari hukum, seni, ilmu
dan agama adalah perwujudan dari suatu asas yang berasal dari Neo-Kantianisme.
Dalam bidang hukum, dalil ini dipertahankan oleh Radbruch yang menjabarkan ide
hukum dalam tiga aspek yakni kepastian hukum, kegunaan dan keadilan. Namun,
karena Radbruch adalah relativis, sehingga menurut pandangannya tidak dapat ditentukan
asas yang mana yang harus diutamakan. Karena yang menentukan adalah kehendak
pembuat undang-undang dan positivitas dari hukum akhirnya tergantung pada
keputusannya. Dalam pandangan Hegel, yang mana ia mencoba mengembangkan
kebebasan sebagai landasan dari hukum (dan etika). Hukum dipahami dalam
kaitannya dengan kebebasan dan itu sesuatu yang juga bagi filsafat hukum modern
tetap penting. Bertolak pada pandangan Radbruch, nilai-nilai hukum bukanlah
suatu bidak-bidak yang mudah digeser sesuka hati kita, keberadaan mereka
berkaitan satu dengan yang lainnya (antara kepastian, kegunaan dan keadilan
hukum). Berkaitan dengan aturan hukum dan
keputusan hukum dilihat dari perpektif ini haruslah mengacu nilai-nilai hukum,
namun nilai-nilai hukum disini tertutup bagi kesewenangan. Kemudian terkait dengan figur hukum dan lembaga hukum, keduanya berkaitan dengan
perangkat-perangkat aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum. Contoh figur
hukum adalah hak milik, kontrak, dan ganti rugi. Sedangkan contoh dari lembaga
hukum adalah keluarga, perkumpulan, perusahaan, kotamadya, dan negara.
Figur-figur hukum ini memiliki sifat yang historikal yang hakiki. Sebagai
contoh nyata, mungkin dapat diliat pada notaris jika merupakan lembaga hukum, karena notaris
adalah pejabat umum yang memiliki tugas
yang in optima forma untuk mewujudkan ide hukum. Perwujudan ide hukum
tersebut berupa merealisasikan keinginan para pihak yang akan membuat
perjanjian ke dalamsuatu akta yang kemudian akan disepakati oleh para pihak dan
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
(asas pacta sunt servanda).
Mutlak perlu diketahui bahwa ada seperangkat
aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum yang mengarah pada perwujudan
ide ide hukum dalam suatu konstelasi historikal tertentu. Negara adalah lembaga
hukum terpenting yang merupakan sebuah lembaga hukum dengan ciri-ciri khusus.
Negara melambangkan dan mengkonkretkan struktur kewibawaan ya di dalamnya ada
orang-orang yang menjalani kehidupan. Negara dapat memainkan aspek sentral seperti
kedaulatan dari negara, yakni kemauan berkuasa dari kewibawaan dari pengambil
keputusan. Bahwa negara adalah sumber dari hukum, karena negara menciptakan
hukum dan menjalankan penegakan dan pelaksanaannya. Negara juga terikat pada
hukum karena negara memiliki tugas untuk mewujudkan ide hukum. Undang-Undang
Dasar, parlemen, perundang-undangan, hak-hakasasi, peradilan adalah cerminan
dari adanya jaminan dan kebebasan manusia atau disebut dengan demokrasi. Dari sudut filsafat hukum, teori demokratik
sangat dibutuhkan ketika suatu negara berada ditengah-tengah krisis tentang
negara dan hukum. Sehingga hubungan imanen antara negara dan kebebasan harus
menjadipusat orientasi. Negara tidak boleh dipandang sebagai gejala politik
sembarangan.
Meuwissen dalam Dalil Penutup-nya
mengemukakanbahwa makna praktikal dari filsafat hukum pada masa kini terletak
dalam mutlak diperlukannya pengembangan suatu filsafat baru tentang
demokrasi.