Senin, 07 November 2011

SEKELUMIT TENTANG MEDIASI PENAL SEBAGAI PROSES ADR DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

1.      Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam  istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat  ATA)) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama memperte-mukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).

2.      Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan isti-lah ADR atau ”Alternative Dispute Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

3.      Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang  ada di dalam ma-syarakat (musyawarah keluarga; musya-warah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

4.      Dalam perkembangan wacana teoritik mau-pun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecende-rungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbe-daan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.

5.      Mediasi pidana yang dikembangkan itu ber-tolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut :
a.        Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
b.       Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu : menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dsb.
c.        Proses informal (Informal Proceeding - Informalität):
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokra-tis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
d.        Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Partici-pation - Parteiautonomie/Subjektivie-rung)
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hu-kum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

6.      Model-model Mediasi Pidana :
Dalam “Explanatory memorandum” dari Rekomendai Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal  sebagai berikut :
a.       "informal mediation"
b.       "Traditional village or tribal moots"
c.        "victim-offender mediation"
d.       ”Reparation negotiation programmes"
e.        "Community panels or courts"
f.         "Family and community group conferen-ces",

Ad (a) : Model "informal mediation"
*      Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice person-nel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk mela-kukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penun-tutan apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim.
*      Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

Ad (b) : Model "Traditional village or tribal moots" Menurut model ini, seluruh masyarakat ber-temu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. 
-       Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/ pedalaman. 
-       Model ini lebih memilih keuntungan bagi  masyarakat luas.
-       Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Pro-gram mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

Ad (c) : Model "victim-offender mediation"
-       Mediasi antara korban dan pelaku meru-pakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. 
-       Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal,  mediator independen, atau kombi-nasi.
-       Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijak-sanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.
-       Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.

Ad (d) : Model ”Reparation negotiation programmes"
-       Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. 
-       Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel.
-       Dalam model  ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.

Ad (e) : Model "Community panels or courts"
-       Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penun-tutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan infor-mal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

Ad (f) : Model "Family and community group conferences"
-       Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan parti-sipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. 
-       Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang kompre-hensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

CATATAN KECIL HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

1.      Perjanjian yang pernah diadakan di masa lampau di Indonesia oleh VOC dengan raja-raja/kepala2 negeri bumiputera tidak termasuk dalam perjanjian internasional dalam arti yang sedang diperbincangkan dalam konteks ini dan lebih merupakan perjanjian internasional semu (quasi international treaties) serta subjek-subjek yang membuat perjanjian itu tidak atau belum dapat dianggap sebagai subjek HI (Subjek HI meliputi negara, organisasi internasional, takhta suci vatikan, pemberontak, individu). Di samping itu ada keberatan lain yang berdasarkan pertimbangan politik yang timbul terutama dalam decade terakhir bahwa perjanjian2 yang demikian secara politik merupakan perjanjian yang tidak seimbang (unequal treaties) meskipun secara formal perjanjian2 tersebut mungkin sah secara hukum.
2.      Perbedaan perjanjian bilateral dan multilateral adalah :
Berdasarkan jumlah pesertanya, PI dapat dibedakan atas Perjanjian Bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian Bilateral adalah perjanjian internasional yang jumlah pesertanya atau pihaknya terdiri atas dua pihak. Sedangkan perjanjian multilateral adalah perjanjian internasional yang terdiri atas lebih dari dua pihak. Hal penting yang membedakan keduanya adalah :
·         Dalam pensyaratan (reservasi). Pensyaratan adalah bahwa suatu negara/peserta perjanjian mengajukan suatu syarat tertentu sebelum menyatakan kesediannya untuk terikat dalam perjanjian itu. Misalnya, suatu negara menyatakan bersedia terikat dalam perjanjian sepanjang suatu ketentuan tertentu dari perjanjian tersebut tidak diberlakukan terhadapnya. Dalam Perjanjian Bilateral jika suatu pihak mengajukan pensyaratan namun tidak diterima oleh pihak lainnya maka otomatis tidak akan lahir suatu perjanjian. Sebaliknya jika pensyaratan itu diterima oleh pihak lainnya maka dengan sendirinya telah lahir suatu perjanjian karena penerimaan itu sama artinya kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat.
Namun, dalam perjanjian multilateral, jika suatu pihak mengajukan pensyaratan dan hal itu diterima oleh peserta lainnya maka masih mungkin lahir suatu perjanjian yaitu perjanjian pensyaratan sepanjang pensyaratan itu tidak dilarang. Dengan kata lain, suatu perjanjian multilateral tetap dapat disahkan sebagai perjanjian namun satu/lebih ketentuannya tidak berlaku atau mengikat terhadap para pihak yang mengajukan pensyaratan, sedangkan pihak-pihak yang tidak melakukan pensyaratan seluruh ketentuan dalam perjanjian itu berlaku atau mengikat.
·         Dalam kaitannya dengan sifat/kaidah hukum yang dilahirkan oleh perjanjian tersebut. Perjanjian bilateral melahirkan kaidah hukum yang mengikat hanya kedua belah pihak saja yang membuat perjanjian itu. Sebab perjanjian bilateral biasanya memang mengatur kepentingan2 yg sangat khusus antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan pihak ketiga tidak turut menjadi pihak dalam perjanjian itu. Oleh karena itulah, perjanjian bilateral juga disebut perjanjian tertutup (closed treaty). Ada juga yang menyebutnya treaty contract karena perjanjian itu hanya melahirkan kaidah hukum bagi pihak2 yang membuatnya.
Sedangkan perjanjian multilateral, sifat kaidah hukumnya dilahirkan oleh perjanjian itu lazimnya bersifat umum, meskipun dapat bersifat khusus. Hal itu bergantung pada corak perjanjian itu, yaitu apakah tertutup atau terbuka. Misalnya perjanjian multilateral yang diadakan oleh negara2 asia tenggara dalam kerangka ASEAN. Perjanjian ini bersifat khusus karena coraknya tertutup. Sebab ia menutup kemungkinan bagi negara di luar asia tenggara untuk ikut menjadi pihak didalamnya. Jadi dilihat dari persfektif coraknya perjanjian multilateral dimungkinkan bersifat tertutup sebagaimana halnya dengan perjanjian bilateral. Sebaliknya perjanjian bilateral tidak mungkin bercorak terbuka melainkan senatiasa tertutup.
Sementara itu PI yang bercorak terbuka dan bersifat umum dapat diketahui dari substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu. Maksudnya substansi/materi yang menjadi isi perjanjian itu tidak semata-mata bersangkut paut dengan kepentingan negara2 yang menjadi pihak dari perjanjian itu tetapi juga kepentingan negara ketiga sehingga bagi negara ketiga ini dimungkinkan untuk turut serta menjadi pihak sekalipun ia tidak sejak awal merupakan peserta perjanjian itu. Dengan kata lain perjanjian semacam ini melahirkan kaidah hukum yang bersifat umum atau sering disebut law making treaty.

3.      Perbedaan aksesi dan adhesi dalam PI :
- Aksesi meliputi kesertaan sebagai peserta keseluruhan perjanjian dengan penerimaan penuh dan utuh atas semua ketentuannya kecuali reservasi-reservasi terhadap suatu klausula, sedangkan adhesi dapat berupa penerimaan hanya sebagian dari perjanjian.
- Aksesi meliputi keikutsertaan dalam perjanjian dengan status yang sama dengan penandatangan-penandatangan asli, sedangkan adhesi semata-mata menunjuk pada persetujuan atas prinsip-prinsip perjanjian.
- Aksesi dalam PI bahwa suatu negara tidak pernah ikut perundingan tetapi ingin ikut dalam perjanjian maka negara tersebut ikut menandatangani dan tunduk pada seluruh isi perjanjian. Sedangkan Adhesi, suatu negara ikut sejak awal proses/tahap pembentukan PI tetapi tidak menyetujui semua pasal dalam PI, hanya tunduk pada beberapa pasal saja yang disetujuinya (ada reservasi).
  

4.      Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt :
asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani kewajiban kepada pihak-pihak yang tidak terikat kepada perjanjian itu.
Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.

- Cara2 negara terikat dlm PI :
      1. penandatanganan (signature)
      2. pertukaran instrument yang melahirkan suatu PI
      3. pengesahan atau ratifikasi
      4. penerimaan (akseptasi)
      5. persetujuan
      6. penambahan (aksesi)
      7. cara lain yg disetujui oleh para pihak

- surat kuasa penuh : pasal 7 ayat 2 konvensi wina 1969 sejumlah pejabat negara karena kedudukan dan jabatannya dianggapselalu bertindak atas nama negaranya sehingga tidak memerlukan surat kuasa penuh, yakni:
      1. kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri.
      2. kepala misi diplomatic, khusus bagi pembuatan dan pengikatan diri dalam PI yang dibuat negaranya dengan negara tempat ia ditempatkan atau diakreditasikan.
      3. wakil-wakil yang ditempatkan atau diakreditasikan oleh negaranya di lembaga-lembaga internasional, khusus dalam hubungannya dengan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat negaranya dengan organisasi internasional tempat ia diakreditasikan.

- PI yg perlu diratifikasi dgn UU di Indonesia menyangkut :
      1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
      2. perubahan wilayah/penetapan batas wilayah RI
      3. kedaulatan/hak berdaulat negara
      4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
      5. pembentukan kaidah hukum baru
      6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri

Tahapan pembentukan PI :
1. penunjukan wakil masing2 pihak yg diberi tugas dan wewenang utk mengadakan perundingan
2. menyerahkan surat kuasa penuh
3. perundingan (membahas dan merumuskan pasal2 perjanjian)
4. penerimaan naskah perjanjian
5. pengesahan (oleh peserta perjanjian)

CONTOH SURAT KUASA

SURAT KUASA


Yang bertanda tangan dibawah ini :-------------------------------------------------------------------------I MADE DARMA, laki-laki, pekerjaan Swasta, lahir di Denpasar, tanggal 15-01-1970 (lima belas Januari seribu sembilan ratus tujuh puluh) , Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Jalan A.Yani Utara No. 115, Peguyangan Kaja, Denpasar, Banjar Dualang, Desa Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, Kotamadya Denpasar, Propinsi Bali, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor : 22.5002.211567.1880, --Dengan ini memberikan kuasa kepada :---------------------------------------------------------------------I MADE ADITYA SUDIATMIKA, SH.MH, Advokat/Pengacara, berkantor di Jalan Gatot Subroto Timur No. 66, Banjar Lumintang, Desa Lumintang, Kecamatan Denpasar Barat, Kotamadya Denpasar, Propinsi Bali, Pemegang Ijin Advokat No. 1679/AD/2006, Tertanggal 2 Juli 2006.-----------
-------------------------------------------------------KHUSUS-------------------------------------------Bertindak untuk dan atas nama saya (pemberi kuasa)--------------------------------------------------------          Selaku Tergugat dalam perkara perdata No. 156/PDT/2010/PN.Dps, tertanggal 13 Februari 2010.
-------------------------------------------------------MELAWAN----------------------------------------I WAYAN SUDIRA, laki-laki, pekerjaan Swasta, lahir di Denpasar, tanggal 14-10-1965 (empat belas Oktober seribu sembilan ratus enam puluh lima) , Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di Jalan A.Yani Utara No. 112, Peguyangan Kaja, Denpasar, Banjar Dualang, Desa Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, Kotamadya Denpasar, Propinsi Bali, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor : 22.5002.211567.1879, -------------------------------------------------------------------------------------          Selaku Penggugat dalam perkara perdata No. 156/PDT/2010/PN.Dps, tertanggal 13 Februari 2010.

-    Untuk keperluan tersebut menghubungi dan menghadap dimana perlu, terutama pada pihak-pihak yang bersangkutan instansi-instansi pemerintah, swasta, dan peradilan, memberikan dan/atau meminta keterangan-keterangan, membuat atau menyuruh membuat serta menandatangani dan menyampaikan segala surat/akta, termasuk surat-surat permohonan, gugatan, perlawanan/verzet, dan/atau pembelaan, menghadiri panggilan-panggilan dan sidang-sidang, mengajukan atau menolak segala macam bukti termasuk saksi-saksi, persitaan, bersumpah menyuruh bersumpah atau menolak sumpah, menerima atau menyerahkan surat-surat, barang-barang, uang dan lain sebagainya serta memberikan/meminta tanda terimanya, memilih domisili, mengadakan perdamaian, baik dimuka pengadilan maupun diluar pengadilan, menyatakan banding, membuat dan menandatangani memori kasasi, dan selanjutnya melakukan segala tindakan yang dianggar perlu dalam rangka membela hak dan kepentingan pemberi kuasa, sebagaimana yang dapat, boleh atau harus dilakukan oleh penerima kuasa, tanpa pengecualian, kesemuanya itu dengan kesanggupan pemberi kuasa untuk menyetujui dan mengesahkan segala tindakan dari yang dikuasakan, dengan ikatan menurut undang-undang :----
-    Kuasa ini diberikan dengan hak untuk memindahkan (substitusi) kepada pihak lebih baik sebagian atau seluruhnya :-----------------------------------------------------------------------------------------------
Demikian surat kuasa ini dibuat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan dimana perlu:--------

                                                                                                 Denpasar,    23 Maret 2010

                 Penerima Kuasa                                                                   Pemberi Kuasa
                                                                                                           (bermeterai cukup)



I MADE ADITYA SUDIATMIKA, SH.MH                             I MADE DARMA

BOLEHKAH LEMBAGA NEGARA MENGGUGAT LEMBAGA NEGARA LAIN DALAM HAL KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) ??

Dalam pasal 1 angka 5 UU No. 9 tahun 2004 disebutkan bahwa gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan. Dalam pasal 1 angka 6 UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan putusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Pasal 53 ayat (1) UU no. 9 Tahun 2004 disebutkan bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar putusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Pasal 1 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2004,
Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang/badan hukum perdata dengan badan/pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan tersebut di atasdapat dilihat tentang hal-hal sebagai berikut :
1.      Hanya orang atau badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
2.      Mengenai badan atau pejabat TUN adalah :
a.       Selalu berkedudukan sebagai pihak tergugat.
b.      Tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan TUN lainnya.
c.       Tidak dapat menggugat orang atau badan hukum perdata bilamana yang bersangkutan tidak mengindahkan Keputusan Tata Usaha Negara, ke pengadilan TUN.
d.      Tidak diperkenankan mengajukan gugatan balik (rekonvensi).
e.       Selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan Keputusan yang dikeluarkan terhadap tuduhan penggugat.
3.      Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis. Bentuk tertulis sangatlah penting karena gugatan tersebut akan digunakan sebagai pegangan oleh pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Bagi penggugat yang buta aksara dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat (secara lisan) kepada panitera pengadilan ini yang membantunya merumuskan gugatan tersebut dalam bentuk tertulis.
4.      Tuntutan yang dapat diajukan oleh penggugat adalah terbatas karena :
a.       Tuntutan pokok hanya satu macam saja, yaitu berupa tuntutan agar Keputusan TUN yang telah merugikan kepentingannya penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
b.      Tuntutan tambahan yang diperbolehkan yang diperbolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi, dan khusus pada sengketa kepegawaian diperbolehkan tuntutan tambahan lainnya berupa tuntutan rehabilitasi (pemulihan kepada keadaan semula).

Dalam asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, terdapat asas “Mengutamakan Perlindungan Kepada Rakyat Pencari Keadilan”. Rakyat pencari keadilan maksudnya adalah setiap warga negara Indonesia atau bukan, dan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Asas ini sesuai dengan maksud diadakannya Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam Penjelasan Umum angka 1 UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan sebagai akibat Keputusan tata Usaha Negara. Adanya asas ini dapat kita lihat dari keadaan sebagai berikut :
1.    Ditentukannya kedudukan yang tetap, tidak dapat dirubah antara penggugat yaitu orang atau badan hukum perdata atau rakyat pencari keadilan dengan tergugat yaitu badan atau pejabat Tata Usaha Negara, artinya penggugat tidak dapat nantinya menjadi tergugat dan demikian sebaliknya (pasal 1 angka 6 dan pasal 53 angka 1 UU no. 5 Tahun 1986). Oleh karena adalah berbeda dengan Hukum acara perdata, dimana dalam HAPTUN tidak mengenal adanya “rekonvensi” atau gugatan balik atau gugatan pembalasan. Tergugat tidak diperbolehkan menggunakan kesempatan pada waktu pemeriksaan mengajukan gugatan balik terhadap penggugat karena adanya rekonvensi ini akan menyebabkan kedudukan tergugat berubah menjadi penggugat dan penggugat berubah menjadi tergugat. Jadi dalam HAPTUN hanya dikenal konvensi, yaitu tuntutan penggugat dalam gugatan.
Sehingga dalam hal suatu lembaga Negara ingin menggugat lembaga Negara lainnya dalam hal KTUN secara yuridis tidak diperbolehkan menurut UU No 4 Tahun 2004.
Namun jika terjadi sengketa Tata Usaha Negara intern lembaga Negara, yakni sengketa antara administrasi Negara yang terjadi di dalam departemen/instansi maupun sengketa yang terjadi antardepartemen/instansi (sengketa hukum antar wewenang), maka :
1.      UU-PTUN tidak membuka peluang bagi sengketa intern
2.      Sengketa antarlembaga Negara yang kewenangannya diatur dalam UUD, diselesaikan oleh MK.
3.      Sengketa kewenangan lainnya tidak diatur lembaga mana yang menyelesaikan.
Jadi, kesimpulannya adalah secara yuridis, menurut UU No. 9 Tahun 2004 suatu lembaga Negara atau badan hukum public tidak dapat menggugat lembaga negara lainnya dalam hal KTUN yang dikeluarkan, karena dalam UU ini tegas dinyatakan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata (pasal 1 angka 6 UU No. 4 Tahun 2004) dan diatur pula dalam pasal 53 UU No. 4 Tahun 2004.